Wednesday, February 10, 2010

Pers Indonesia Masih (Terus) Terancam


Pers Indonesia Masih (Terus) Terancam

Oleh Wisnu Dewabrata

Jika dilihat sepintas, boleh jadi hubungan pemerintah dan pers selama ini berjalan baik dan ”mesra”. Pascareformasi, pers tidak lagi dihantui ancaman beredel macam ketika Orde Baru berkuasa. Dampaknya, pers bebas memberitakan nyaris apa pun yang terjadi di kolong langit negeri ini.

Secara sepintas, kemesraan hubungan pers dan pemerintah tadi terepresentasi dari nyaris tidak pernah absennya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional. Hal ini setidaknya dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan, dalam setiap peringatan Hari Pers, Presiden Yudhoyono mendapatkan kehormatan berpidato sekaligus memberikan ”wejangan” dan kritik. Kedekatan seperti itu tentu tidak bakal terjadi jika hubungan di antara keduanya berjalan tidak harmonis.

Memang tak banyak hal baru disampaikan Presiden Yudhoyono dalam beberapa kesempatan acara peringatan itu. Apa yang disampaikan relatif ”sama dan sebangun”. Pada intinya mengingatkan pers agar tidak sembarangan, apalagi tanpa bertanggung jawab, menjalankan peran dan fungsinya menjadi pilar keempat demokrasi (the fourth estate).

Otokritik

Dalam pidatonya di puncak peringatan Hari Pers Nasional kali ini di Palembang, Sumatera Selatan, Presiden Yudhoyono mengingatkan pentingnya upaya sensor diri (self-censorships) dalam pemberitaan, peliputan yang seimbang, dan juga mengetahui berita mana yang masih dalam kepatutan dan mana yang sudah di luar kepatutan.

Jika dalam peringatan kali ini Presiden Yudhoyono menggunakan istilah sensor diri, pada peringatan sama dua tahun lalu di Semarang, Jawa Tengah, dia menggunakan istilah otokritik. Menurut Presiden Yudhoyono saat itu, media massa harus selalu ingat untuk melakukan otokritik sekaligus aktif menjadikan kebebasan pers agar bisa membawa manfaat bagi negara.

Wanti-wanti pemerintah itu bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan atas besarnya peran dan kemampuan pers, terutama dalam memengaruhi opini masyarakat dan kebijakan, baik yang tengah disusun maupun yang sedang berjalan.

Tidak hanya itu. Boleh jadi secara tersirat, pengakuan atas kekuatan dan kemampuan pers yang teramat besar tadi menyebabkan Presiden Yudhoyono juga meminta pers dan media massa bisa ”membikin benar” pemerintah jika pemerintah melakukan kesalahan. Hal itu ditegaskan Presiden dalam pidato pada peringatan Hari Pers Nasional tahun 2009 di Jakarta.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, kebebasan pers kemudian malah dimaknai berbeda, terutama oleh pemerintah dan kalangan politisi. Bahkan, muncul tuduhan kemudian, kebebasan pers sudah kebablasan. Dengan alasan itulah lalu muncul keinginan dan upaya dari sejumlah kalangan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers walaupun belakangan ini upaya itu juga tak berlanjut setelah mendapat sejumlah penentangan.

Ancaman pidana

Meski begitu, bukan berarti berbagai upaya ”mengerdilkan” kembali kebebasan dan independensi pers kemudian berhenti begitu saja. Sejumlah kalangan mengaku yakin ancaman ”pengerdilan” dan bahkan pengkriminalisasian pers masih terus berjalan dengan banyak siasat lain. Salah satunya dengan menciptakan berbagai aturan legislasi, baik UU maupun peraturan pemerintah, yang walau hanya satu atau dua pasal berpotensi mengancam kebebasan pers, sekaligus mengkriminalkan pers dan wartawan.

Sebut saja Rancangan UU tentang Rahasia Negara, yang bisa dijadikan salah satu contoh ekstrem, betapa masih kentalnya paradigma dan cara berpikir pemerintah yang ingin membatasi peran dan kebebasan pers. Dalam RUU yang disusun dan diajukan Kementerian Pertahanan itu terdapat sejumlah pasal, terutama tentang sanksi bagi pelanggar, yang mencantumkan nilai denda uang yang sangat tinggi dan fantastis, sehingga berpotensi kuat membangkrutkan perusahaan pers yang dianggap melanggar.

Memang pada ”menit-menit terakhir” RUU Rahasia Negara itu dibatalkan pembahasannya oleh Presiden Yudhoyono. Namun, tidak ada jaminan RUU itu tidak akan ”bangkit” kembali dari ”kubur”-nya. Apalagi, mengingat pemerintah dan anggota legislatif periode 2009-2014 sepakat memasukkan kembali RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional 2009-2014.

Saat dihubungi secara terpisah, Leo Batubara dari Dewan Pers menegaskan ada banyak pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga berpotensi kuat mengkriminalkan wartawan dan media pers. Pasal-pasal itu bahkan bertambah dalam sejumlah draf revisi yang diajukan, mulai dari pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie hingga Presiden Yudhoyono sekarang.

”Selama ini di KUHP ada 37 pasal yang bisa mengkriminalkan pers. Pada zaman Habibie, jumlahnya ditambahi jadi 42 pasal. Sedangkan pada zaman Presiden Yudhoyono oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia diubah menjadi 62 pasal. Kenaikan itu dilakukan by design dan sengaja,” ujarnya lagi.

Menurut Leo, sedikitnya ada empat modus untuk membungkam pers. Keempat modus itu adalah regulasi perizinan dan pemberedelan, kriminalisasi pers melalui legislasi, penetapan hukuman denda bernilai besar, dan terakhir dengan jalan memperbesar rezim ketertutupan yang berdampak memperkecil akses terhadap informasi publik.

Selain KUHP dan RUU Rahasia Negara, Leo mencatat sejumlah UU yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan mengkriminalkan jurnalis. UU itu antara lain UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1), UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

”Saya melihat pemerintah sampai sekarang masih belum siap dikritik dan diinvestigasi. Mereka tidak keberatan kalau ada pers atau jurnalis abal-abal memeras narasumber dan menerima amplop karena mengalokasikan dana khusus untuk itu. Namun, kalau ada pers benar menjalankan fungsi kontrol mereka, misalnya dengan menginvestigasi kemungkinan penyelewengan uang negara, pemerintah justru sangat alergi,” papar Leo.

Saat ditemui secara terpisah, akhir pekan lalu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria kepada Kompas membenarkan ada kecenderungan pemerintah ingin kembali mengendalikan ruang kemerdekaan, yang telah diperoleh masyarakat sipil sebagai berkah reformasi. Tren itu diyakini terjadi dalam lima tahun terakhir. Kebebasan pers dianggap banyak mengganggu kepentingan politisi, aparat pemerintah, dan pebisnis bermasalah.

”Rezim pemerintah pada era reformasi memang berwajah ganda. Mereka selalu akan mengaku menjunjung tinggi kebebasan pers agar dianggap menghormati prinsip demokrasi. Namun, di kesempatan lain mereka cari akal (siasat), membuat sebanyak mungkin aturan hukum yang bisa kembali mengontrol kebebasan pers. Sayangnya, hal itu membuat pers dan perusahaan media massa berhati-hati, bahkan takut membuat liputan investigatif terkait dugaan penyelewengan,” ujar Nezar. Inilah tantangan pers saat ini. ***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 03:53 WIB

No comments:

Post a Comment