Saturday, May 29, 2010

561 Sekolah Lulus Nol Persen

UJIAN NASIONAL

561 Sekolah Lulus Nol Persen

JAKARTA - Kelulusan ujian nasional siswa SMP/MTs/SMP Terbuka tahun ini, seperti juga di jenjang SMA, mengalami penurunan. Kelulusan siswa SMP/MTs/SMP Terbuka pada tahun ini mencapai 90,27 persen, sedangkan tahun lalu mencapai 95,09 persen.

Pada tahun ini, tercatat 561 sekolah yang memiliki tingkat kelulusan 0 persen dengan jumlah 9.283 siswa.

Sebanyak 350.798 siswa atau 9,73 persen dari 3.605.163 peserta dinyatakan mengulang. Jumlah terbanyak ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (39,87 persen), Gorontalo (38,80 persen), dan Bangka Belitung (34,69 persen). Para siswa yang dinyatakan mengulang tersebut dapat mengikuti ujian nasional (UN) ulangan pada 17-20 Mei mendatang.

Hanya tiga provinsi yang tiap sekolahnya ada siswa lulus. Ketiga provinsi itu adalah Bali, Jambi, dan Sulawesi Tengah.

Adapun kelulusan siswa yang mencapai 100 persen hanya dicapai 17.852 sekolah atau 41,64 persen dari 44.666 SMP/MTs/SMP Terbuka. Jumlah terbanyak terdapat di Jawa Barat (3.423 sekolah), Jawa Timur (3.281 sekolah), dan Sumatera Utara (1.479 sekolah).

Nilai rata-rata UN tertinggi tahun ini mencapai 9,38. Pencapaian itu diraih siswa dari SMP Negeri 1 Tulungagung (Jawa Timur) dan SMP Negeri 1 Denpasar (Bali).

Angka sementara

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Kamis (6/5), mengatakan, angka kelulusan saat ini barulah angka sementara yang belum dapat dievaluasi karena masih ada peserta ujian yang diperkenankan mengulang.

”Memang turun, tetapi, kan, ada UN ulangan. Kita doakan saja siswa yang mengulang bisa berhasil,” kata Nuh.

Ketidaklulusan yang mencapai 0 persen itu paling banyak dialami sekolah-sekolah di wilayah Jawa Tengah yang mencapai 105 sekolah, selanjutnya di Jawa Timur 54 sekolah.

Tingkat kelulusan 0 persen juga terjadi di DKI Jakarta. Sebanyak 1.039 siswa dari 51 sekolah di Ibu Kota dinyatakan mengulang, yang menempatkan DKI di urutan ketiga sebagai daerah yang memiliki tingkat kelulusan 0 persen.

Adapun Jawa Barat yang 17 sekolahnya kelulusannya 0 persen, jumlah siswa tidak lulus hanya 2,41 persen dari peserta ujian. Persentase kelulusan ujian nasional siswa SMP/MTs di Jawa Barat cukup tinggi, yaitu 97,59 persen.

”Jumlah ini terhitung tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Ini merupakan perjuangan siswa sendiri. Namun, siswa yang tidak lulus kali ini tetap kami fasilitasi,” tutur Kepala Ujian Nasional Jawa Barat Asep Hilman.

Jawa Barat memiliki jumlah sekolah tertinggi untuk kelulusan 100 persen, yaitu 3.423 sekolah yang 100 persen siswanya lulus.

Sementara di DI Yogyakarta, jumlah siswa tidak lulus mencapai 10.800 siswa. Jumlah ini lebih banyak tiga kali lipat dari jumlah tahun 2009, yaitu 3.112 murid.

Tingkat kelulusan UN DIY tahun ini turun drastis menjadi 78,02 persen dari tingkat kelulusan tahun 2009 (93,46 persen). Sebagian besar murid gagal di mata ujian Matematika dan Bahasa Inggris. ”Sebagian besar hanya gagal di satu mata uji, tetapi tetap saja tidak lulus,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Suwarsih Madya.

Penurunan persentase kelulusan juga terjadi Provinsi Jawa Tengah. Kepala Dinas Pendidikan Jateng Kunto Nugroho mengatakan, tingkat kelulusan UN SMP 85,99 persen, sementara tahun lalu 93,36 persen. Ia mengungkapkan, ketidaklulusan siswa SMP pada UN kali ini kebanyakan karena gagal juga pada mata ujian Bahasa Inggris dan Matematika.

Nuh mengatakan, hasil UN ini menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengintervensi kebijakan peningkatan layanan pendidikan di sekolah. Untuk itu, pemetaan yang sudah didapat akan ditindaklanjuti dengan perbaikan dan peningkatan yang dibutuhkan sekolah.

”Dari pemetaan yang didapat, yang penting kita persiapkan adalah apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat sekolah-sekolah yang memang harus diperkuat,” ujar Nuh.

Pemerintah menilai masih membutuhkan UN sebagai unsur ”pemaksa” bagi sekolah, guru, dan siswa untuk memacu prestasi. Dengan memakai standar kelulusan yang sama meskipun kualitas sekolah tidak merata, dinilai akan memudahkan pemerintah untuk melihat perbedaan tersebut.

Dengan demikian, ujar Nuh, kelulusan siswa tetap merupakan kombinasi unsur penilaian sekolah dan hasil UN.

”Tetap tidak bisa diserahkan ke sekolah sepenuhnya. Kita tetap perlu standar secara nasional. Persoalan UN ini memang sudah perdebatan lama, tetapi ini adalah cara untuk mendapatkan pemetaan dan melakukan intervensi,” papar Nuh. (CHE/ELN/ENY/ILO/IRE) ***

Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 03:05 WIB

Ada 8 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

eremem @ Jumat, 7 Mei 2010 | 10:23 WIB
wajib belajar harusnya 12 tahun, ujian nasional selepas SMU saja. Yang penting menjalani pendidikan 12 tahun. Ujian Nasiola hanya sebagai gerbang untuk PT.

eremem @ Jumat, 7 Mei 2010 | 10:22 WIB
wajib belajar harusnya 12 tahun, ujian nasional selepas SMU saja. Yang penting menjalani pendidikan 12 tahun. Ujian Nasiola hanya sebagai gerbang untuk PT.

eremem @ Jumat, 7 Mei 2010 | 10:22 WIB
wajib belajar harusnya 12 tahun, ujian nasional selepas SMU saja. Yang penting menjalani pendidikan 12 tahun. Ujian Nasiola hanya sebagai gerbang untuk PT.

laras @ Jumat, 7 Mei 2010 | 10:22 WIB
bukan MENTALITAS anak didik. tapi UN udah ga berarti.wong banyak yang bocor. NGERUGIIN peserta UN yang lain dong

Sepdon Siregar,SPd. @ Jumat, 7 Mei 2010 | 09:54 WIB
Susah diterima akal sehat kalau mengadakan tes thdp sekolah yg kondisinya berbeda.tapi pemerintah tidak mau mendengar. Anak jadi korban,guru ,ortu, stres.

No comments:

Post a Comment