Saturday, May 29, 2010

Kastanisasi Pendidikan

Kegiatan belajarmengajar di SMAN 1 Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (20/3), sudah mulai berbasis pada penggunaan teknologi, komunikasidan informasi, serta bahasa pengantar bahasa Inggris. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)***

DISKRIMINASI

Kastanisasi Pendidikan

Sejak Kementerian Pendidikan Nasional memutuskan memilah-milah sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan SBI (RSBI), sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah reguler, sejak saat itu pula pemerintah melakukan diskriminasi. Benar SBI dan RSBI merupakan penjabaran Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan SSN menjadi perwujudan Pasal 50 Ayat 2. Namun, yang terjadi justru pengotak-ngotakan masyarakat berdasarkan sekolah. Padahal, muara pengotak-ngotakan itu tidak lain biaya alias uang.

Bila hal itu dikaitkan dengan stratifikasi sosial ekonomi di masyarakat, Darmaningtyas—pemerhati pendidikan—mendapatkan empat kelompok masyarakat. Kelompok A adalah kumpulan anak orang kaya dan pintar, kelompok B (kaya tetapi kurang pandai), kelompok C (miskin tetapi pintar), dan kelompok D (miskin dan kurang pandai).

”Kenyataannya SBI dan RSBI diisi kelompok A dan B. Kelompok C berada di SSN karena, meski pintar, mereka tidak mampu membayar tinggi. Sedangkan kelompok D tak ada pilihan selain harus mengisi sekolah-sekolah reguler,” katanya dalam diskusi pendidikan yang digelar Eka Tjipta Foundation di Jakarta, akhir April lalu.

Dari sudut konstitusi, lanjut Darmaningtyas, kastanisasi dan stratifikasi ini jelas merupakan merupakan ironi. Deklarasi HAM jelas menyatakan tidak boleh ada diskriminasi, begitu pula bunyi UUD 1945. ”Pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar kepada sekolah reguler karena kebanyakan diisi anak miskin yang menurut konstitusi menjadi tanggung jawab negara. Realitasnya, rakyat harus membiayai sendiri pendidikannya karena subsidi pemerintah amat kecil,” ujarnya.

Dalam seminar itu, Prof Yohanes Surya tegas membantah bila anak bodoh tidak bisa dilatih matematika. ”Semua bisa matematika seperti yang sudah saya lakukan terhadap anak-anak Papua. Memang ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, yaitu mengalahkan mind-set yang mengatakan mereka bodoh dan tidak bisa matematika, dan memotivasi mereka giat berlatih. Nah, di sini diperlukan guru yang siap menjadi motivator,” tegas dia.

Masalah diskriminasi yang telanjur berjalan dalam dunia pendidikan harus ditinjau ulang. Bagi bangsa ini, dampak lebih luas apa yang bakal muncul bila pola pengembangan pendidikan di Indonesia dijalankan dengan pengotak-ngotakan. Berapa juta anak miskin, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, terbengkalai? Berapa juta anak pandai yang terkendala tidak bisa mengenyam pendidikan yang bagus dengan fasilitas internasional hanya karena status mereka miskin? Tokoh Lintang yang pandai dan berakhir sebagai sopir truk dalam film Laskar Pelangi bisa dijadikan contoh.

Para bapak bangsa Indonesia berkali-kali menyatakan, pendidikan yang bagus adalah kunci memutus rantai kemiskinan. Itu berarti semua warga berhak mendapatkan pendidikan yang bagus. Apabila pendidikan bagus hanya bisa dinikmati segelintir orang dan sebagian besar rakyat Indonesia harus menikmati pendidikan apa adanya, tidak heran kita hanya bisa mengekspor tenaga kerja yang dihargai murah. Inikah yang disebut pendidikan yang demokratis? (ton)***

Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 05:18 WIB

No comments:

Post a Comment