PENDIDIKAN
Yang Miskin, Minggir...
Oleh Tony D Widiastono
Dengan sedih, Darlim memilih mundur, batal menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Matanya terbelalak saat diharuskan membayar Rp 6 juta untuk anaknya yang ingin masuk SMP negeri bertaraf internasional itu. ”Saya cuma tukang bangunan. Bayaran saya Rp 75.000 per hari. Kalau harus membayar segitu, berapa bulan kami berempat harus tidak makan?” ujar Darlim yang memiliki dua anak.
Darlim dan banyak orangtua hari-hari ini dipusingkan biaya pendidikan yang kian mencekik leher. Untuk masuk SMP atau SMA berlabel internasional, seorang siswa akan dipungut Rp 6 juta-Rp 8 juta dan uang sekolah Rp 450.000-Rp 500.000 per bulan. Bayangan anak-anak tidak bisa sekolah karena tak ada biaya segera menjadi momok dan menakutkan. Mahalnya biaya pendidikan otomatis juga mempersempit akses warga miskin mendapat dan menikmati pendidikan yang baik, seperti warga lain. ”Mahalnya biaya pendidikan akan memaksa kaum miskin untuk minggir. Seperti itulah yang kini terjadi,” tutur Darmaningtyas, pemerhati pendidikan, saat dihubungi Kompas, Kamis (6/5). ”Saya sedang dalam kereta menuju Yogya,” lanjut dia.
Sekolah bermetamorfosis
Memang, pascareformasi politik tahun 1998, banyak sekolah mulai ”bermetamorfosis”. Salah satu contohnya, SMPN 11 Jakarta yang tahun 2008 berinisiatif mengajukan diri menjadi RSBI, tetapi tidak lolos verifikasi. Setelah menjadi sekolah standar nasional (SSN), sekolah itu disetujui menjadi RSBI dengan target mampu mengisi delapan kelas 1 masing-masing 30 siswa. ”Salah satu tuntutan RSBI, harus menggunakan pengantar bahasa Inggris. Kan banyak orangtua ingin anaknya bisa bahasa Inggris aktif,” ujar penanggung jawab RSBI SMPN 11 Jakarta, Tri Kartewi.
Proses ”metamorfosis” muncul seiring dengan terjadinya perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003. Perubahan ini berdampak amat luas terhadap proses penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional. Munculnya Pasal 50 Ayat 3: ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, ternyata berdampak pada pengotak-ngotakan sekolah. Sekolah pun terbagi dalam sejumlah strata: sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah reguler, yang (sebenarnya) hanya ditentukan besaran pembayaran alias uang.
Konsep SBI sendiri sebenarnya belum jelas. Yang selalu dikatakan adalah operasionalisasinya menggunakan bahasa Inggris dalam pengantar dan buku-buku untuk beberapa pelajaran seperti Bahasa Inggris, IPA, dan Matematika, kelas ber-AC, internet tanpa batas, study tour gratis, dan lainnya. ”Ini tidak masuk akal. Masak untuk menginggriskan, memasang AC, menggunakan internet, study tour, tiap anak harus dipungut Rp 8 juta? Belum lagi, pemerintah mengucurkan dana lebih dari satu miliar untuk tiap sekolah RSBI selama tiga sampai empat tahun,” tegas Darmaningtyas.
Mengutip data Kementerian Pendidikan Nasional, hingga 2009 pemerintah sudah mengucurkan dana kepada 320 SMA, 118 SMK, 300 SMP, dan 136 SD yang ditunjuk sebagai RSBI (Kompas, 30/4/2010). Sementara dari segi pengeluaran—menurut perhitungan Kompas—jika pada sekolah SBI atau RSBI punya dua kelas 1 paralel dan masing-masing berisi 20 siswa, akan diperoleh hitungan 40 x Rp 8 juta > Rp 320 juta. Ditambah bantuan pemerintah Rp 400 juta (untuk tahun pertama) dan Rp 300 juta (untuk tiga tahun berikutnya), setiap tahun sekolah SBI dan RSBI akan menerima Rp 620 juta hingga Rp 720 juta. Jumlah itu belum termasuk uang sekolah bulanan, Rp 450.000 hingga Rp 500.000.
”Menurut keterangan, sistem evaluasi sekolah SBI dan RSBI mengikuti Cambridge, negeri maju. Kenyataannya, dalam ujian nasional lalu soal-soal yang diajukan menggunakan bahasa Indonesia. Apanya yang internasional? Maka, SBI sering dipelesetkan menjadi Sekolah Bertarif Internasional,” kata Darmaningtyas.
Jangan terjebak
Atas upaya Kemendiknas mengembangkan pendidikan di Indonesia, dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, mengingatkan agar pemerintah mencermati ulang orientasi dan substansi penyelenggaraan pendidikan nasional. Para pemangku kepentingan pendidikan nasional jangan terjebak atau tertipu gelombang zaman. Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan sekolah bertaraf internasional adalah salah.
”Alasannya, mendidik dalam kultur global tak terkait dengan standar internasional. Di negara-negara mapan dan matang, SBI tidak dibiarkan mengacaukan sistem pendidikan yang sudah ada. Seharusnya pendidikan nasional menjadi bagian integral proses politik, kebudayaan, dan kultur sebuah bangsa,” tuturnya.
Kini, dampak penginternasionalan taraf sekolah membuat banyak sekolah berlomba mengikuti jalan itu. Namun, jika upaya ini terus berlanjut, dikhawatirkan kian meminggirkan kaum miskin, hanya karena tak mampu membayar. Hal ini akan membatasi kesempatan setiap orang memperoleh pendidikan yang baik. Sekolah akan berubah menjadi ”sekolah elite”. Siswa tak lagi belajar hidup dengan teman-teman dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Padahal, selalu digembar-gemborkan, sekolah ”warna-warni” akan menjadi persemaian lahirnya generasi penuh empati. Lha piye iki? (MHF/BEN/IRE/DOT)***
Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 05:19 WIB
No comments:
Post a Comment