Upaya China Menarik Perhatian Dunia
Oleh : Budiman Tanuredjo
Bandara Internasional Capital Beijing sudah sepi ketika pesawat Singapore Airlines mendarat di Ibu Kota Republik Rakyat China, Rabu (7/10) tengah malam. Pesawat SQ boleh jadi adalah penerbangan terakhir yang mendarat di Bandara Capital Beijing setelah menempuh perjalanan 6 jam lebih dari Bandara Changi, Singapura.
Tampak beberapa petugas bandara masih menggunakan masker, khususnya di pos kesehatan. Virus H1N1 masih menjadi momok menakutkan bagi Pemerintah China. Setiap penumpang diwajibkan mengisi formulir yang berisi catatan kondisi kesehatan, termasuk rencana pengunjung yang akan tinggal di China. Alat pengukur suhu badan dipasang di jalur penumpang. Semuanya diperiksa detail!
Kedatangan saya ke Beijing adalah atas undangan Kantor Berita China, Xinhua, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Media Sedunia, 8-10 Oktober 2009. Konferensi itu dipusatkan di Gedung Balai Rakyat (Great Hall) China. Di luar bandara, Rhine, mahasiswa China, sudah menunggu untuk menjemput saya menuju tempat penginapan di Hotel Grand Beijing.
Grand Beijing adalah hotel mewah yang letaknya di pusat kota. Lokasi Hotel Grand Beijing tak sampai 500 meter dari Lapangan Tiannanmen yang pada tahun 1990-an kesohor sebagai tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Sekitar 20 tahun lalu—tepatnya 4-6 Juni 1989—terjadi pembantaian mahasiswa prodemokrasi China oleh Tentara Pembebasan Rakyat.
Meski mata sudah mengantuk karena badan lelah, Rhine menjelaskan agenda acara KTT Media Sedunia. Di dalam mobil Audi yang hangat—temperatur diatur 23 derajat celsius, sementara suhu udara di luar 12 derajat—Rhine menceritakan kemajuan China. ”Negeri ini tetap komunis, tapi secara ekonomi maju,” ucapnya.
Perjalanan dari Bandara Capital Beijing hingga hotel ditempuh sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan lampu-lampu jalan dengan berbagai hiasan, yang didominasi warna merah, masih menyala terang benderang. Gedung pencakar langit menjulang di sepanjang perjalanan dari bandara. Jalan-jalan tol menghubungkan satu tempat ke tempat lain di Beijing,
Pekan itu, Beijing memang sedang pesta. Ketika saya tiba, Beijing baru saja memperingati 60 tahun Republik Rakyat China yang dipusatkan di Lapangan Tiannanmen, 1 Oktober 2009. Selama satu pekan, 1-8 Oktober, dijadikan hari libur resmi. Lalu lintas masih ramai. Rombongan pejalan kaki masih memadati jalan raya itu. Rasa dingin tampaknya tidak memengaruhi para wisatawan tersebut. Mereka tetap berjalan-jalan di tengah malam. ”Ini jalan terbesar di Beijing,” ucap Rhine menjelaskan jalan raya di mana Hotel Grand Beijing terletak.
Pertama kali
Masih dalam rangka peringatan 60 tahun Republik Rakyat China itulah Beijing menggelar KTT Media Sedunia. Diskusi tentang KTT Media Sedunia itu diinisiasi sejumlah raksasa media dunia saat mereka bertemu di Beijing berbarengan dengan pelaksanaan Olimpiade Beijing 2008.
Para inisiator KTT Media Sedunia itu adalah Rupert Murdoch (CEO News Corporation), Pemimpin Redaksi Reuters David Schlesinger, Direktur Jenderal ITAR-TASS Vitaly Ignantenko, Direktur Divisi BBC Global News Richard Sambrook, Presiden Associated Press Thomas Curley, dan Presiden Kantor Berita Kyodo Satoshi Ishihawa. Mereka hadir kembali di Beijing dalam KTT sebagai co-chairman. Sedangkan sebagai pimpinan KTT adalah Presiden Kantor Berita Xinhua Li Congjun.
Masa depan media di tengah krisis ekonomi global dan perkembangan teknologi komunikasi menjadi isu sentral yang dibawakan dalam KTT Media tersebut. Media memang sedang dihadapkan pada era yang berubah. Perkembangan teknologi komunikasi dan merosotnya perekonomian dunia mengharuskan pengelola media mengantisipasi masalah tersebut.
KTT Media Sedunia yang pertama kalinya diadakan di Beijing. Mereka yang hadir mayoritas adalah kantor berita, televisi, radio, dan surat kabar. Biasanya, pertemuan internasional mengenai media digelar oleh World Association Newspaper (WAN) yang berbarengan dengan World Editor Forum (WEF) yang pada 2009 diadakan di Hyderabad, India, 30 November-3 Desember 2009.
Selain saya dari Indonesia, CEO Antara Ahmad Muklis Yusuf, Wakil Pemimpin Redaksi Antara Akhmad Khusaeni, dan CEO Jawa Pos Dahlan Iskan juga hadir dalam pertemuan yang difasilitasi Kantor Berita Xinhua itu. Semua delegasi diinapkan di Hotel Grand Beijing dan Hotel Beijing yang lokasinya bersebelahan.
Demi untuk menyukseskan KTT Media Sedunia, Rhine menjelaskan, Xinhua mengerahkan 200 tenaga sukarela untuk mendampingi tamu-tamu Xinhua dari 170 negara di berbagai belahan dunia. Seorang tenaga sukarela—mereka adalah mahasiswa China yang belajar berbagai bahasa, seperti Inggris, Perancis, dan Arab—dikerahkan untuk mendampingi para pemimpin media dan kantor berita sedunia.
Safari pidato
KTT Media dibuka oleh Presiden Republik Rakyat China Hu Jintao dan dilanjutkan dengan safari pidato dari Ketua KTT Li Congjun dan para Wakil Ketua KTT dari Rupert Murdoch hingga John Liu, Wakil Presiden Google Inc. Hari pertama KTT ditandai dengan safari pidato yang diawali dengan pidato pembukaan dari Presiden China Hu Jintao. Presiden Hu menyerukan organisasi media global untuk menyerukan perdamaian dunia dan pembangunan.
Presiden Hu juga berharap pertemuan akan membantu untuk memperkuat kerja sama di antara media global, memacu lahirnya media industri global, dan membangun saling pengertian yang mendalam serta persahabatan di antara bangsa-bangsa. Terhadap organisasi media internasional, Presiden Hu menjanjikan akan melindungi media internasional untuk melakukan peliputan di China sesuai dengan peraturan yang berlaku di China.
Hu juga mengatakan, tantangan dunia berubah akibat krisis finansial global, ketidakseimbangan pembangunan, krisis pangan, dan terorisme. Kondisi itu menuntut tanggung jawab bersama media untuk bersama membangun dunia yang harmonis, perdamaian abadi, dan kesejahteraan umum. Pandangan senada disampaikan Presiden Kantor Berita Xinhua Li Congjun. Li mengangkat tema tanggung jawab sosial media.
Seakan merespons pandangan Hu Jintao dan Li Congjun, Pemimpin Redaksi Reuters David Schlesinger justru meminta China untuk mengembangkan sistem ekonomi yang lebih transparan. Masuknya China dalam sistem keuangan global menuntut adanya transparansi dalam statistik serta data-data keuangan karena pasar keuangan global menuntut data yang pasti dan bukan berdasarkan rumor. ”Transparansi menjadi salah satu kunci,” kata Schlesinger yang meminta China untuk membuka akses lebih besar terhadap wartawan asing di China. Selama ini, kata Schlesinger, terjadi perbedaan perlakuan antara wartawan China dan wartawan asing di China.
Saat berbicara di forum tersebut, Rupert Murdoch yang menyebut forum KTT Media sebagai ”Olimpiade Media” justru mengangkat tema lain yang mengentak. Raksasa media dari Australia justru berteriak keras terhadap para agregator yang mengambil begitu saja berita tanpa membayar. ”Mereka harus membayar karena ikut menggunakan berita-berita yang kita buat,” ujar Murdoch di atas podium. ”Bila kita tak bisa mengambil keuntungan, maka kita akan mengalami kerugian dan para kleptomania akan senang,” ujarnya seraya menyebut GoogleNews. John Liu dari Google yang berada di sudut paling kiri meja panelis hanya tersenyum ketika Murdoch berteriak perlunya membayar untuk menggunakan berita.
KTT Media Sedunia itu sendiri ditutup 10 Oktober. Dalam pernyataan bersamanya, KTT Media menyerukan agar organisasi media dunia memberikan informasi yang akurat, obyektif, tidak berpihak, serta liputan yang berimbang dalam berbagai peristiwa dunia yang terjadi. Namun, pada sisi lain, KTT Media Sedunia juga harus terus mempromosikan perlunya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah serta perlunya membangun saling pengertian antarbangsa.
Citra
Apa yang didapat dari KTT Media Sedunia? Dong Guan Peng, analis dari Tsinghua University, menyebut forum KTT Media Sedunia adalah sebuah forum bagi pimpinan media dunia, termasuk pemimpin China, untuk mengenal lebih dekat para pemimpin raksasa media global.
”China memang mempunyai masalah dalam citra tentang dirinya,” kata Dong Guan, sebagaimana dikutip The Strait Times. Dong mengemukakan, ”Saya yakin beberapa dari tokoh media yang diundang sebagian dari antaranya belum pernah ke China. Saya terkejut dan berharap setelah mereka melihat kondisi riil China, maka bias terhadap berbagai tulisan tentang China akan sedikit berkurang.”
Politik pencitraan boleh jadi menjadi salah satu agenda Pemerintah China, selain motif ekonomi. China memang dikenal tidak ramah dengan ide-ide Barat soal transparansi dan kebebasan pers. Pers di China dikontrol sepenuhnya oleh negara. Selama berada di Beijing, hampir semua saluran televisi adalah CCTV. Tak ada CNN, BBC, atau Al-Jazeera yang bisa dinikmati.
Namun, kemampuan China menghadirkan sejumlah raksasa media dunia dan pada tahun 2008 menggelar Olimpiade Beijing telah menunjukkan kesuksesan China mengubah pandangan dunia tentang Negeri Tirai Bambu tersebut. Lapangan Tiannanmen yang 20 tahun lalu dikenal sebagai ladang kekerasan bagi mahasiswa prodemokrasi China kini telah diubah sebagai tempat wisata yang selalu dikunjungi wisatawan asing selain Tembok China.
”China memang sukses mengubah citra diri mereka,” ujar seorang delegasi Indonesia. Lautan manusia dari berbagai penjuru dunia—mayoritas berwajah oriental—yang berada di Tiannanmen bak penziarahan manusia. ”Itu semacam penziarahan,” ujar seorang wartawan dari Senegal.
KTT Media 8-10 Oktober itu ditutup dengan mengunjungi tempat ternama di China, seperti The Forbidden City dan Tembok China. ***
Source : Kompas, Senin, 2 November 2009 | 02:40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar