Oleh : Maria FK Namang
Tiap tahun, menjelang ujian nasional, cepat atau lambat, ada ”pemadatan pengajaran”. Konsentrasi anak hanya dipusatkan pada kiat menjawab pertanyaan secara tepat.
Apakah para pengambil keputusan sadar bahwa yang ”menggembirakan” dari ujian nasional hanya pemadatan pengajaran, bukan pemadatan pembelajaran?
Dalam Introducción a la Filosofía de la Educación (TW Moore, 1987), pendidikan sering dipahami secara keliru, sekadar transaksi. Ibarat jual-beli, guru yang (diandaikan) memiliki keunggulan pengetahuan dan pengalaman ditawarkan kepada siswa. Guru menjadi sumber informasi, instruktur, ahli, dan animator.
Agar proses belajar-mengajar tidak terkesan vertikal, otoriter, atau sekadar mendikte, yang notabene sudah bukan zamannya lagi, guru mencari aneka ”strategi pengajaran”. Berbagai cara dikembangkan, bukan untuk menguatkan jelajah intelektual, tetapi sekadar menguatkan daya hafal dan ketelatenan melaksanakan instruksi. Sekolah pun gembira saat apa yang diajarkan dikuasai sangat baik oleh siswa dan hal itu terbukti dalam ujian.
Keinginan belajar juga ditimbulkan lewat ujian. Mekanisme ujian memaksa siswa memberi prioritas pada persiapan sambil menyampingkan (untuk sementara) dorongan negatif yang mengarah pada kenakalan remaja. Guru, orangtua, terutama pemerintah, gembira karena semangat belajar anak meningkat.
Sekilas, hal-hal seperti ini membanggakan. Namun, bila dikritisi, semangat belajar yang tercipta, baik melalui menghafal maupun pemaksaan lewat ujian, hanya bersifat mekanistis. Jika seseorang belajar bukan karena kesadaran tetapi paksaan, materi yang dikuasai tak akan bertahan. Ia ada selagi ada rangsangan eksternal dan akan minggat seirama perginya sokongan.
Sialnya, kepincangan model pendidikan transaksional seperti ini tidak mudah dibasmi karena pelaksanaannya membutuhkan biaya transaksional yang amat remuneratif. Pemerintah, misalnya, memberi anggaran besar guna menyukseskan ujian nasional. Sekolah dalam kerja sama dengan bimbingan belajar menggelar uji coba massal (berbiaya mahal). Semua dilaksanakan dengan asumsi ”meningkatkan mutu pendidikan”.
Jebakan pendidikan (ujian nasional) yang mekanis-transaksional hendaknya disadari sebagai sebuah kepincangan. Para pengambil keputusan mestinya insaf, yang diperoleh dari ujian nasional hanya pembelajaran mekanis yang sama sekali tidak mendidik. Anak belajar karena didesak keadaan dan berhenti seirama hilangnya rangsangan.
Pribadi yang dihasilkan dari model pendidikan seperti ini pun bisa ditebak. Yang dikejar adalah ijazah, bukan kompetensi. Lebih parah lagi, orang seperti itu, saat menjadi pejabat, yang dikejar bukan kreativitas, keikhlasan memberi, dan mengabdi, tetapi kelicikan mengambil barang atau hak orang lain, menipu, bahkan memeras. Kongkalikong dihalalkan demi memperkaya diri. Dengan ”lincah” mereka lepas dari jerat hukum. Dengan ”cerdik”, menjebak orang lain. Rasanya ada kepuasan tersendiri saat melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
Untuk itu, tak ada pilihan selain peralihan kepada pembelajaran organis. Dalam sistem ini, jelajah nalar dioptimalkan, hati digerakkan, minat dan semangat didorong, serta motivasi dan kesadaran diri diberi ruang gerak luas. Melalui pendekatan ini, seseorang akan menjadi pribadi kian mandiri. Ia akan bebas berkreasi dan berinovasi. Ia punya intuisi sosial dan kontributif terhadap pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Cara organis seperti ini sudah terbukti di beberapa negara maju. Mereka memberi kesaksian, belajar yang dipaksakan tidak punya manfaat untuk pengembangan diri anak. Yang harus dibuat adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran. Dari sana diharapkan terlahir pribadi kreatif dan konstruktif. Pribadi ini selain mandiri juga kontributif terhadap penciptaan masyarakat yang lebih baik. Yang dilakukan bukan menjadi benalu masyarakat dan bangsa, tetapi penuh kreatif mempersembahkan sesuatu yang bermakna untuk bangsa dan negaranya.
Muara dari semua ini adalah terbentuknya bangsa yang lebih berkarakter. Jelasnya, bangsa ini akan kian baik saat model pembelajaran organis kian diberi tempat dan impian kosong di balik ujian nasional yang menggunakan pembelajaran mekanis ditinggalkan.
Kalau kita berani melakukannya, sebuah tatanan baru akan lebih tercapai dan masalah yang meresahkan akibat tingkah pejabat yang merisaukan (seperti terjadi antara polisi dan KPK) akan lenyap atau minimal berkurang. Semua itu mungkin saat kita mulai dari pendidikan. Sudikah kita memulai? ***
Alumna Universita Facoltà di Scienze dell’Educazione
dell’Università Pontificia Salesiana, Roma;
Guru Sebuah Sekolah di Bekasi.
Source : Kompas, Selasa, 24 November 2009 | 03:20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar