BUDAYA CIANJUR
"Ngaos", "Mamaos", dan "Maenpo" yang Tergerus Zaman
Cianjur pada masa lalu diingat orang karena tiga pilar budayanya, yaitu ngaos, mamaos, dan maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji, mamaos adalah tradisi mengisahkan petuah-petuah para leluhur yang diiringi alat musim kecapi, dan maenpo seni tradisional pencak silat.
Ketiga pilar budaya itu hidup dan menjadi napas yang dihidupi masyarakat Sunda di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, selama berabad-abad. ”Ketiga pilar itu saling melengkapi dan menuntun masyarakat menjadi bijaksana,” kata seniman mamaos, Aki Dadan (66).
Ngaos mengajarkan keutamaan hidup dan mengedapankan watak baik melalui penghayatan agama. Budaya ngaos ini terutama bisa dilihat di pesantren-pesantren dan kelompok pengajian yang jumlahnya tak terhitung di Cianjur.
Mamaos memberikan pendidikan melalui kisah-kisah adiluhung nenek moyang, sedangkan maenpo mengajarkan masyarakat Sunda-Cianjur untuk menjadi ksatria, sekaligus kuat secara fisik. Kedua pilar budaya ini pada zaman dulu dilestarikan di padepokan-padepokan.
Pilar budaya itu benar-benar menjadi panutan ketika masyarakat Cianjur masih hidup tradisional. Kini, ketika modernisasi sudah sedemikian masif, ketiga pilar budaya itu makin tergerus.
Mengkhawatirkan
Ketua Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur Abah Ruskawan mengatakan, tanda-tanda kemunduran tiga pilar budaya Cianjur itu semakin mudah terlihat.
”Semakin banyak pesantren yang jumlah santrinya terus berkurang. Saat ini juga tak ada lagi padepokan mamaos dan maenpo yang namanya melegenda seperti dulu. Kemunduran tiga pilar budaya Cianjur ini sudah mengkhawatirkan,” kata Ruskawan.
Seni mamaos kini dalam kondisi kritis karena tak banyak lagi kaum muda yang menguasainya. Lembaga Kebudayaan Cianjur berupaya menghidupkan lagi seni mamaos, tetapi terbentur pada ketersediaan sumber daya karena mamaos adalah tradisi lisan, bukan tulisan.
Di Cianjur, hanya Aki Dadan yang betul-betul menguasai seni mamaos melalui tuturan lisan sehingga tak mudah mewariskan keahlian itu kepada generasi yang lebih muda.
Ruskawan mengatakan, tradisi Sunda sebetulnya bisa dilestarikan melalui pendidikan di sekolah-sekolah. ”Namun, sayangnya tak banyak sekolah yang memiliki kepedulian untuk melestarikan budaya Sunda-Cianjur. Hanya ada 10 sekolah yang memiliki kecapi untuk mamaos,” kata Ruskawan.
Pada era kejayaannya, mamaos selalu ditampilkan saat pesta pernikahan dan pertemuan-pertemuan besar karena sekaligus memberikan petuah kepada masyarakat yang datang. Kini, sulit mengharapkan ada penyelenggara pesta perkawinan yang menampilkan mamaos. Mereka lebih memilih dangdut atau kesenian modern lainnya.
Tegakkan tiga pilar
Melihat fenomena itu, seniman dan budayawan Cianjur sepakat kembali menegakkan tiga pilar budaya Cianjur. Salah satu upayanya adalah dengan mengetuk kepedulian wakil rakyat dan Pemerintah Kabupaten Cianjur.
Maka, dengan mengambil momentum peringatan Hari Pahlawan, Selasa (10/11), para seniman dan budayawan menggelar ketiga pertunjukan itu di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Cianjur. Mereka melibatkan pula sekolah-sekolah yang masih memiliki kepedulian terhadap budaya Cianjur.
Ketiga kesenian tradisional itu ditampilkan bergantian sebelum para seniman dan budayawan menemui wakil rakyat mereka.
Ketua DPRD Cianjur Gatot Subroto mengatakan, ketiga pilar budaya Cianjur itu menjadi perhatian bersama seniman, budayawan, pemerintah, dan anggota legislatif. Gatot mengatakan, anggota legislatif mengharapkan masukan-masukan dari para seniman dan budayawan agar diperoleh formula yang pas untuk melestarikan budaya Cianjur. (agustinus handoko)***
Source : Kompas, Rabu, 11 November 2009 | 03:06 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar