Selasa, 03 November 2009

Tradisi Memayu Ki Buyut Trusmi

FORUM

Memayu, Potensi Wisata 6 Kilometer

Oleh : LUTFIYAH HANDAYANI

Datangnya musim hujan disambut sukacita di Cirebon. Masyarakat menyambutnya dengan tradisi memayu Ki Buyut Trusmi. Perayaan ini diyakini sebagai upacara mapag udan dalam bahasa Cirebon.

Kegiatan lain yang biasa digelar pada perayaan memayu, di antaranya, pertunjukan wayang, pengajian akbar, tahlilan, dan kenduri dengan memotong kerbau. Yang juga menjadi daya tarik lain dari kegiatan memayu adalah kirab budaya atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan ider-ideran.

Istilah memayu merupakan bahasa Cirebon asli yang artinya memperbaiki, mbagusi (membuat bagus) yang mengandung dua pengertian. Pertama, mbagusi atap-atap yang sudah lama dan menggantikannya dengan yang baru. Kedua, mbagusi diri manusia dari sifat-sifat lama yang jelek dengan sifat-sifat yang bagus.

Upacara memayu dilakukan untuk mengganti atap masjid yang terbuat dari alang-alang, sebagai genteng, dan kayu sebagai kusennya. Penggantian alang-alang dilakukan sebagai persiapan pergantian musim dari kemarau ke hujan. Satu tahun sebagai angka periodik penggantian alang-alang. Memayu juga dijadikan sebagai sarana sedekah bumi bagi masyarakat wilayah tiga untuk memulai musim tanam, dengan keyakinan berkah yang didapat, musim panen mereka akan sukses. Terlepas dari keyakinan masyarakat tentang memayu, ritus ini merupakan bentuk kesadaran mensyukuri nikmat.

Tujuan utama dari upacara ini pada awalnya sebagai penyebaran agama Islam. Rangkaian kegiatannya antara lain buka sirap, mengganti atap masjid, sehari setelah acara kirab budaya, dan tahlil pada malamnya. Buka sirap harus dilakukan pada hari Senin, berkaitan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Awalnya, memayu dilakukan sewindu sekali (delapan tahun sekali), tetapi lambat laun menjadi empat tahun sekali dan itu pun berupa penggantian dengan kayu jati pada masjid, sedangkan atap alang-alang diganti dalam setahun sekali.

Ider-ideran pada memayu menampilkan beberapa kesenian tradisi, di antaranya, tari baksa, tari perlawanan masyarakat Trusmi. Tarian tersebut hanya ada pada saat memayu Trusmi. Masyarakat peserta ider-ideran meyakini keikutsertaan mereka pada acara tersebut dapat membawa berkah bagi mereka. Potensi wisata

Ribuan warga bersiap menonton acara kirab budaya memayu. Mereka datang dari wilayah tiga Cirebon. Sepanjang 6 kilometer ruas jalan Pantura-Plered menjadi lintasan kirab. Prosesi berlangsung sekitar tiga jam.

Pada barisan terdepan, 14 tombak pusaka warisan Ki Buyut Trusmi dibawa para kemit, petugas jaga makam keramat. Barisan berikutnya adalah para sesepuh Trusmi, kemudian disusul para pejabat tingkat Kecamatan Plered dan Weru, Cirebon. Rombongan pembawa ranting bambu, kulit, atau atap rumbia ada di barisan paling belakang. Rombongan tersebut merupakan pembawa peralatan yang akan dipasang di masjid.

Selain itu, ada juga parade kebudayaan yang menampilkan kreativitas masyarakat dan kesenian tradisional lain, seperti burok dan atraksi kuda. Kepercayaan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa keikutsertaan mereka pada kirab akan membawa rezeki bagi usaha mereka, bahkan sejumlah masyarakat mendatangkan kuda tunggang untuk ikut serta pada acara kirab sebagai gengsi. Prosesi kirab dimulai dan berakhir di kompleks makam Ki Buyut Trusmi.

Dalam prosesi ini, tumpeng raksasa, padi, sayur-mayur, dan hasil bumi juga ikut dikirab. Bagi warga, tradisi memayu menjadi ajang untuk "mengalah" berkah atau mendapat berkah. Di tengah perjalanan, warga berebut mengambil nasi tumpeng dan hasil bumi.

Kreativitas dibutuhkan pada perayaan memayu Ki Buyut Trusmi sehingga terdapat kebaruan yang merupakan upaya menghidupkan tradisi lokal. Dengan demikian, memayu menjadi salah satu potensi wisata seni yang unik.

Spiritualitas yang diajarkan Ki Buyut Trusmi sebagai ulama yang memimpin kerajaan Trusmi terkandung dalam setiap pertunjukan yang digelar saat memayu, di antaranya pentas brai, yaitu seni tradisi yang memiliki nilai religiositas tinggi. Brai berasal dari kata birahi yang artinya menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kebudayaan yang terus berlangsung pada kehidupan kita sebenarnya mengalami kompetisi yang tinggi dengan perubahan zaman.

Membangun identitas

Secara umum memayu merupakan pilar dalam membangun "identitas" dengan latar "lokalitas" dalam sebuah kehidupan masyarakat. Manusia dihadapkan pada pola dan kebudayaan asing yang membabi buta melalui produk instan yang menggiurkan.

Memayu, jika kita tempatkan sebagai fenomena tradisi sakral yang saklek, atau dengan kata lain, kita tidak melalukan inovasi terhadap perayaan tersebut, akan ditinggalkan masyarakat secara perlahan. Ternyata memayu hanya sebagai ritus, bagian dari kehidupan mitos masyarakat yang digelar dengan sedikit hikmat dan penuh dengan segala yang berbau hura-hura.

Gagasan yang terkandung dalam perayaan memayu tidak akan luntur. Namun, jika kemasan perayaan tradisi ini diurus dengan baik, mungkin akan menjadi momen tersendiri bagi kegiatan wisata di Cirebon, misalnya dengan mengatur kostum peserta kirab agar lebih artistik. Seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada kirab budaya yang dilaksanakan masyarakat Sleman saat menyambut Ramadhan, misalnya, andong peserta kirab dihias, yang merupakan hasil kreativitas masyarakat.

Upacara itu menjadi satu fokus kegiatan budaya tersendiri yang memikat banyak wisatawan lokal dan asing untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kemasan pertunjukan seni tradisi dan peserta kirab budaya diatur dalam sebuah kepanitiaan yang detail dengan tema tertentu, misalnya. Dengan demikian, memayu memaksa banyak kreativitas yang terjadi. Kirab budaya kolosal 6 kilometer di sekitar Kecamatan Plered akan menjadi momen tujuan wisatawan lokal dan asing.

Pemerintah sebagai penentu kebijakan hendaknya tanggap dengan fenomena kebudayaan yang terjadi sehingga pemberdayaan kultur lokal bukan sekadar utopia, melainkan merupakan usaha keras yang terus-menerus untuk melawan arus global.

LUTFIYAH HANDAYANI,

Pegiat Lingkar Studi Sastra Cirebon.

Source : Kompas, Selasa, 3 November 2009 | 17:32 WIB

Illustrasi : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqqz_KxvAin5JuBCSONqJAEC-hlZHDeYzmviT5pS1M24eE1bEYmiaBEpMVvZMKuqXgXXF3Yl6cIdZbqvrIB7WJ9UXAPx6-6QXZdAgqP8JWu9LxxqOdjEitz2o0jLGBBBYdvsX3VuDcvc8/s320/KIRIM+3.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar