Meniti Akhir Kejayaan Seni Tradisi
Oleh : Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana
Basyir bersiap-siap naik takhta. Pekan depan dia akan menduduki takhta Kerajaan Kediri. Namun, bintang panggung sandiwara dari grup Candrasari Indramayu ini tak perlu persiapan khusus karena peran Jayakatwang sudah dilakoninya bertahun-tahun.
Setelah turun takhta dari Kerajaan Singasari, peran lain sudah menanti Basyir. Pada bulan yang berjumlah 30 hari, dia bisa pentas 31 kali, berkeliling dari Indramayu, Cirebon, Subang, Karawang, hingga Brebes (Jawa Tengah). Penontonnya selalu ramai.
Meski demikian, ada kegelisahan yang merayapi hatinya karena ada perubahan arus dalam dunia sandiwara pesisir. Jika dulu para pemain melakonkan kisah sejarah dengan bumbu lawak, kini justru porsi sejarah dipersingkat dan diganti dengan pentas dangdutan atau tarling modern. Lawak sebagai bumbu penyedap pun diperbanyak porsinya sehingga pesan sejarah terkadang hanya hiasan.
"Dari 50-an grup sandiwara, hanya sedikit yang bertahan dengan cara lama. Selebihnya bersaing menarik penonton dengan hiburan semata," kata Basyir yang masih memilih gaya lama setiap kali pentas. Kegelisahan serupa lebih dulu dialami para penari topeng dan dalang. Bahkan penari topeng sudah melewati masa keemasannya. Kini yang tersisa adalah tarian untuk hiburan semata. Tari topeng sebagai ritual sudah mulai ditinggalkan.
Budayawan Indramayu, Sudibyo, mengakui adanya perubahan yang mencolok di antaranya pementasan tari topeng. Awalnya pembuatan tari tersebut tidak lepas dari kepentingan ritual. Tari topeng panji, misalnya, bisa ditarikan selama tiga jam. Jika ada lima tingkatan tari topeng, tarian bisa dipentaskan selama 15 jam.
Kini tak mungkin lagi tarian topeng dipentaskan secara penuh dengan pertimbangan penonton sekarang ini lebih banyak berorientasi pada hiburan. Jika dipaksakan, tarian tersebut akan makin ditinggalkan. Kalaupun bisa, harus didampingi dengan penjelasan mengenai makna setiap detail gerakan agar pesan penari tersampaikan. Dari rakyat
Supali Kasim, budayawan Indramayu, juga mengatakan, banyak seni di pesisir lebih berpeluang berkembang atau berubah dibandingkan dengan seni yang terbentuk dari keraton. Salah satu penyebabnya, seni pesisir banyak berasal dari seni rakyat. Artinya, seni dan tradisi itu tidak kaku memegang pakem karena aspek ritual tidak sekental tradisi dari keraton.
Hal yang sama dikatakan Ade Jayani, pengelola Sanggar Mimi Rasinah, bahwa akar kesenian di daerah pesisir adalah bentuk interaksi antarmasyarakat. Meski memiliki aturan baku, terutama yang berunsur ritual, hal-hal lain masih bisa diubah mengikuti selera penonton. Oleh sebab itu, kombinasi dan kreasinya lebih beragam.
"Tarian dari pesisir itu sangat fleksibel karena penontonnya lebih dekat dengan penarinya. Tidak ada jarak," kata Ade.
Contoh membuminya kesenian daerah pesisir adalah pergelaran wayang yang disisipi ucapan-ucapan salam serta nyanyian yang telah dipesan penonton, lalu didendangkan oleh si sinden. Ucapan salam itu disampaikan di tengah-tengah cerita dan dalang langsung menghentikan jalan ceritanya. Agar salamnya dinyanyikan si sinden, penonton harus nyawer.
Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubbanuddin Alwy yakin seni pesisir masih bisa bertahan asalkan senimannya mau mengeksplorasi materi pertunjukan, misalnya memasukkan tema-tema aktual dan terkini.
Boleh saja legenda yang ditampilkan di sandiwara dikaitkan dengan isu politik atau masalah sosial yang sedang hangat dibicarakan publik. Tentu saja hal ini butuh kerja keras dan pengetahuan dari senimannya. "Penonton juga mulai jenuh dengan seni yang modern. Bahkan orang asing saja mencari pertunjukan yang kolosal, yang banyak ditampilkan di kesenian kita," ujar Alwy.
Kini pedang bermata dua seni tradisional ada di tangan para seniman dan penontonnya. Bagaimana perkembangan bentuknya lima atau sepuluh tahun lagi, itu tergantung ke mana kemudi kapal akan diarahkan, terutama oleh pemerintah daerah yang punya tanggung jawab terbesar. Siapkah mereka? ***
Source : Kompas, Sabtu, 21 November 2009 | 10:36 WIB
Setelah turun takhta dari Kerajaan Singasari, peran lain sudah menanti Basyir. Pada bulan yang berjumlah 30 hari, dia bisa pentas 31 kali, berkeliling dari Indramayu, Cirebon, Subang, Karawang, hingga Brebes (Jawa Tengah). Penontonnya selalu ramai.
Meski demikian, ada kegelisahan yang merayapi hatinya karena ada perubahan arus dalam dunia sandiwara pesisir. Jika dulu para pemain melakonkan kisah sejarah dengan bumbu lawak, kini justru porsi sejarah dipersingkat dan diganti dengan pentas dangdutan atau tarling modern. Lawak sebagai bumbu penyedap pun diperbanyak porsinya sehingga pesan sejarah terkadang hanya hiasan.
"Dari 50-an grup sandiwara, hanya sedikit yang bertahan dengan cara lama. Selebihnya bersaing menarik penonton dengan hiburan semata," kata Basyir yang masih memilih gaya lama setiap kali pentas. Kegelisahan serupa lebih dulu dialami para penari topeng dan dalang. Bahkan penari topeng sudah melewati masa keemasannya. Kini yang tersisa adalah tarian untuk hiburan semata. Tari topeng sebagai ritual sudah mulai ditinggalkan.
Budayawan Indramayu, Sudibyo, mengakui adanya perubahan yang mencolok di antaranya pementasan tari topeng. Awalnya pembuatan tari tersebut tidak lepas dari kepentingan ritual. Tari topeng panji, misalnya, bisa ditarikan selama tiga jam. Jika ada lima tingkatan tari topeng, tarian bisa dipentaskan selama 15 jam.
Kini tak mungkin lagi tarian topeng dipentaskan secara penuh dengan pertimbangan penonton sekarang ini lebih banyak berorientasi pada hiburan. Jika dipaksakan, tarian tersebut akan makin ditinggalkan. Kalaupun bisa, harus didampingi dengan penjelasan mengenai makna setiap detail gerakan agar pesan penari tersampaikan. Dari rakyat
Supali Kasim, budayawan Indramayu, juga mengatakan, banyak seni di pesisir lebih berpeluang berkembang atau berubah dibandingkan dengan seni yang terbentuk dari keraton. Salah satu penyebabnya, seni pesisir banyak berasal dari seni rakyat. Artinya, seni dan tradisi itu tidak kaku memegang pakem karena aspek ritual tidak sekental tradisi dari keraton.
Hal yang sama dikatakan Ade Jayani, pengelola Sanggar Mimi Rasinah, bahwa akar kesenian di daerah pesisir adalah bentuk interaksi antarmasyarakat. Meski memiliki aturan baku, terutama yang berunsur ritual, hal-hal lain masih bisa diubah mengikuti selera penonton. Oleh sebab itu, kombinasi dan kreasinya lebih beragam.
"Tarian dari pesisir itu sangat fleksibel karena penontonnya lebih dekat dengan penarinya. Tidak ada jarak," kata Ade.
Contoh membuminya kesenian daerah pesisir adalah pergelaran wayang yang disisipi ucapan-ucapan salam serta nyanyian yang telah dipesan penonton, lalu didendangkan oleh si sinden. Ucapan salam itu disampaikan di tengah-tengah cerita dan dalang langsung menghentikan jalan ceritanya. Agar salamnya dinyanyikan si sinden, penonton harus nyawer.
Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubbanuddin Alwy yakin seni pesisir masih bisa bertahan asalkan senimannya mau mengeksplorasi materi pertunjukan, misalnya memasukkan tema-tema aktual dan terkini.
Boleh saja legenda yang ditampilkan di sandiwara dikaitkan dengan isu politik atau masalah sosial yang sedang hangat dibicarakan publik. Tentu saja hal ini butuh kerja keras dan pengetahuan dari senimannya. "Penonton juga mulai jenuh dengan seni yang modern. Bahkan orang asing saja mencari pertunjukan yang kolosal, yang banyak ditampilkan di kesenian kita," ujar Alwy.
Kini pedang bermata dua seni tradisional ada di tangan para seniman dan penontonnya. Bagaimana perkembangan bentuknya lima atau sepuluh tahun lagi, itu tergantung ke mana kemudi kapal akan diarahkan, terutama oleh pemerintah daerah yang punya tanggung jawab terbesar. Siapkah mereka? ***
Source : Kompas, Sabtu, 21 November 2009 | 10:36 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar