Sabtu, 21 November 2009

Seniman Tradisional : Mati Segan, Hidup pun Tak Mampu

Tari Topeng Masuk Facebook

Oleh : Timbuktu Harthana

Mati segan, hidup pun tak mampu. Sepertinya itu menjadi gambaran kehidupan seniman tradisional di pesisir pantai utara. Mereka mencoba bertahan dengan sisa tenaga yang ngos-ngosan, dibarengi pola manajemen pertunjukan ala kadarnya, bak prinsip kerja tukang bakso.

"Setahun, kalau dihitung-hitung, saya cuma manggung lima kali. Itu juga kalau ada yang bikin sumur. Padahal, sewaktu masih muda (20-30 tahun lalu), dan belum ramai acara hiburan lain, saya pernah dalam sebulan manggung 30 kali," ujar Mimi Tiweng (65), penari ronggeng kethuk asal Desa Telaga Sari, Kecamatan Lelea, Indramayu, Jumat (20/11).

Mimi Tiweng yang bernama asli Kartiwen adalah satu dari dua penari ronggeng kethuk yang masih tersisa di Indramayu. Padahal, dulu dia punya empat-lima penari serta lima pemain musik pengiring. Namun, kini hanya dirinya yang masih bertahan menarikan tarian itu. Para penarinya beralih profesi menjadi tenaga kerja Indonesia atau kuli bangunan di Jakarta.

Mimi sehari-hari berjualan makanan dan minuman ringan di depan rumahnya serta menjadi buruh tani dengan upah Rp 20.000 per hari pada musim tanam dan panen. Grup ronggengnya, Pacar Sari, malah masuk "kandang ayam". Sebab, mulai dari papan nama, alat-alat musik pengiring, dan kethuknya tidak terawat dan dimasukkan dalam kotak kayu yang menyerupai kandang ayam.

"Tidak ada lagi yang main. Tinggal saya sendiri. Kalau ada yang nanggap, terpaksa pemain kethuknya dari tempat (sanggar/grup) lain. Kadang-kadang juga tidak pakai kethuk. Hanya dengan tembang dari saya saja," kata Mimi Tiweng yang tak punya generasi penerus.

Nasib serupa sempat dirasakan Sanggar Mimi Rasinah di Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu. Sebelum tahun 2008, kehidupan sanggar hanya bergantung pada order manggung yang tak jelas kapan datangnya. Semua urusan dapur sanggar sampai pementasan ditangani sendiri oleh Mimi Rasinah. Manajemen baru

Namun, sejak regenerasi Mimi Rasinah kepada cucunya, Aerli Rasinah (24), tahun lalu pengelolaan sanggar pun berubah. Ada empat tim yang menjalankan sanggar. Tim musik mengurusi gamelan dan musik pentas, tim artistik menangani kebutuhan dekorasi pementasan, tim penari bertugas menyiapkan tarian dan latihan tari, sedangkan tim manajer panggung menyiapkan agenda pentas. Pembentukan tim-tim ini dilakukan agar tiap anggota sanggar fokus pada tugasnya.

"Aerli hanya fokus menari dan bertanggung jawab pada topeng serta kostumnya. Jadi, dia tidak perlu memikirkan yang lain-lainnya. Walaupun dibagi empat tim, kami tetap kerja sama," tutur Ade Jayani (28), pengurus sanggar.

Salah satu tugas manajer panggung, kata Ade, termasuk mencari dan membuat agenda pementasan. Tujuannya, sanggar tidak lagi bergantung pada order dari orang yang punya hajatan. Pekerjaan itu tak gampang karena sanggar dituntut memiliki jejaring yang luas, sampai ke luar provinsi dan benua. "Karena banyak orang pakai Facebook, kami sekarang juga mengenalkan tari topeng lewat Facebook, selain lewat situs yang sudah kami buat," katanya.

Budayawan sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubbanuddin Alwy mengatakan, mengkerutnya kesenian dan seniman tradisional disebabkan pengelolaan grup mereka yang tidak tertata dengan baik. Pemain masih merangkap pengelola sanggar sampai mengurusi hal remeh temeh. Alhasil, eksplorasi seni yang disuguhkan seniman tidak optimal.

Padahal, jika sanggar punya manajer pementasan, sanggar bisa mencari sponsor atau pihak ketiga untuk diajak menggelar pertunjukan. Sanggar juga bisa membuat program yang mendatangkan uang untuk biaya operasional sanggar. Sanggar Mimi Rasinah, misalnya, membuat gantungan kunci dan hiasan dinding keramik bergambar penari topeng. "Kami ingin menjadi sanggar dan seniman yang profesional, setidaknya meniru Saung Angklung Udjo," ujar Ade.***

Source : Kompas, Sabtu, 21 November 2009 | 11:09 WIB



Tidak ada komentar:

Posting Komentar