Kamis, 19 November 2009

Menggapai Kebangkitan Seni Tradisi Indramayu

Seniman Legendaris Indramayu

Sejumlah ibu warga Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, berlatih tarian bajidor kahot di Sanggar Mulya Bhakti milik Wangi Indriya yang sedang direnovasi Dana Kemanusiaan Kompas (DKK), Selasa (17/11). Meski kaku dan kurang gemulai karena bukan penari profesional, ibu-ibu ini tetap antusias belajar menari. Bangunan baru ini akan diresmikan Kamis pagi besok oleh Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin. (Foto : Kompas/Timbuktu Harthana)***

SANGGAR MULYA BHAKTI

Gairah Baru

Kehidupan Seni Budaya Pantura

Oleh : Timbuktu Harthana

dan Siwi Yunita Cahyaningrum

Dengan susah payah Taswen (55) melakukan gerakan geol, ukel, dan seblak. Meski tangan dan pinggulnya masih terlihat kaku, dia tetap semangat berlatih tarian bajidor kahot bersama 12 ibu rumah tangga di pelataran Sanggar Mulya Bhakti di Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu.

Kaku tidak saya menarinya? Sudah lama sekali saya enggak menari. Baru dua bulan kemarin saya belajar menari lagi,” ujar Taswen, pembantu rumah tangga yang mengaku antusias belajar lagi menari. Sekarang, ia sudah menguasai dua tarian walaupun sering kali lupa-lupa ingat gerakannya.

Semangat Taswen tak muncul tiba-tiba. Gairahnya menari bangkit sejak Sanggar Mulya Bhakti milik Wangi Indriya (48) mulai direnovasi. Ajakan ibu-ibu yang dulunya pernah dan bisa menari makin membuatnya tertarik belajar menari. ”Saya mau menunjukkan ke anak-anak. Yang tua saja mau belajar menari topeng, masak yang muda enggak mau,” kata Taswen sambil bercerita, pada usia 6-7 tahun ia pernah belajar menari dari mamak Taham (75), ayah Wangi Indriya.

Antusias mengajarkan tari pun dirasakan oleh Sidem Permanawati (52), kakak Wangi Indriya. Sejak menikah sampai suaminya meninggal, dia tak pernah lagi menari. Datang ke sanggar pun ia dilarang suaminya.

Namun, setelah suaminya meninggal dan sanggar mulai diperbaiki, semangat menarinya pun merekah lagi. Sampai-sampai dia rela mendatangkan teman-temannya sesama seniman tari untuk melatih anak-anak dan ibu-ibu yang ingin belajar menari tarian khas Indramayu di Sanggar Mulya Bhakti.

Sejarah Sanggar Mulya Bhakti adalah sejarah pasang surut kehidupan penari dan seni budaya pantura wilayah Indramayu-Cirebon dan sekitarnya. Awalnya mamak Taham, dalang wayang kulit khas Indramayu, mendirikan Sanggar Mulya Bhakti tahun 1983 agar putri-putrinya tidak tersisih dalam pergaulan. Benar saja, dalam perjalanannya, Mulya Bhakti menjadi salah satu pusaran kehidupan penari, pedalang, nayaga, dan penggiat seni di wilayah pantura.

Sejak dibangun 1983 hingga 1998, bangunan sanggar belum pernah direnovasi. Bahkan, suatu ketika salah satu panggung di sanggar ambruk karena keropos dan komunitas Mulya Bhakti yang ”mengayomi” ratusan anggotanya belum sanggup merenovasinya.

Ratusan bocah, remaja putra dan putri, serta belasan orang dewasa anggotanya rupanya tak sekadar belajar tari, seni ukir, pedalangan, atau seni gamelan. ”Di sini, pendidikan watak sebenernya digembleng supaya cinta tradisi, tetapi juga belajar disiplin, tata krama, kesetiaan. Macam-macam,” kata Ki Taham, sesepuh sanggar.

Hingga tujuh tahun kemudian, sanggar akhirnya mendapat bantuan rehabilitasi bangunan dari Pemerintah Kabupaten Indramayu. Namun, tahun 2008, giliran panggung satunya lagi yang ambruk karena usia. Para penari pun terpaksa berlatih di bawah terpal dan tiupan angin. Pada saat hujan, panggung dari atap terpal pun tak mungkin digunakan.

Hingga akhirnya, September 2009, Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) mulai merehabilitasi padepokan seni itu. Sanggar yang awalnya hanya terdiri dari satu panggung kini dibangun menjadi tiga panggung sekaligus. Kamis (19/11) besok, panggung ini akan diresmikan penggunaannya, didahului pergelaran wayang kulit, Rabu malam ini, oleh Ki Taham dan dilanjutkan pergelaran tari mulai Kamis pagi.

Karena sudah diniati, Ki Taham dan keluarganya, termasuk putrinya, Wangi Indriya, dan sejumlah cucunya hidup untuk mengajar seni. Soal bayaran tak pernah mereka pikirkan. Bagi mamak (kakek) dan Wangi, mendapatkan siswa untuk dididik menjadi dalang atau nayaga sudah membuat mereka bahagia.

Namun, panggilan jiwa untuk berbakti dalam bidang seni budaya yang mulia—karena itu dinamakan Mulya Bhakti—rupanya tak selalu sepadan dengan kesejahteraan perikehidupan pelakunya. Saat Ki Taham laris sebagai dalang pada tahun 1980-an, penghasilan mamaklah yang menyokong sanggar.

Kini giliran Wangi yang harus menopang meneruskan langkah ayahnya menghidupi sanggar. Sangat sering ia nombok untuk ”memuliakan” sebuah pergelaran. Malahan, honor Wangi pribadi dari pentas tari di luar negeri habis untuk membeli kostum dan membayar nayaga dalam pentas di luar kota. Pendeknya, perikehidupan pengelola sanggar nyaris kekurangan kalau tak bisa disebut sangat sederhana.

”Kami belum bisa menikmati uang dari pertunjukan. Pentas dengan 75 bocah, misalnya, tidak mudah! Padahal, orangtua mereka juga sudah membantu,” kata Wangi melukiskan nilai sosial sanggarnya. Para orangtua siswa rela mengumpulkan uang untuk membayar asisten pelatih atau transportasi untuk pentas.

Salah satu orangtua siswa, Endang (35), menilai menghidupkan sanggar tari tradisi sangat penting, apalagi sanggar di pelosok kampung seperti Mulya Bhakti. Sebagai orang Indramayu, ia dan banyak orang sama sekali tak tahu tari-tarian khas Indramayu. Menyaksikan pertunjukan tari topeng Indramayu yang utuh pun baru sekali.

Selama ini, diakui budayawan Supali Kasim dan seniman Indramayu, Syayidin, kesenian tradisional pesisir yang mempunyai nilai seni tinggi justru terpinggirkan. Yang kini banyak malah seni pertunjukan yang hanya bersifat menghibur dan minim nilai. Untuk bisa menarik perhatian warga, seni tradisi harus beradaptasi dengan selera publik, seperti dangdut atau organ tunggal.

Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin pun ingin seni tradisi dibawa ke pentas lebih besar agar membangkitkan lagi minat warga terhadap keberadaan seni dan tradisi pantura.

Bangkitnya gairah warga Indramayu menggeluti kembali seni tradisi mereka niscaya pertanda kebangkitan seni tradisi pantura.***

Source : Kompas, Rabu, 18 November 2009 | 04:26 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar