Patriotisme di Pojok Republik Ini
Oleh : Edna C Pattisina dan Ferry Santoso
Kita seperti kehilangan roh kepahlawanan. Pejabat hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat kehilangan semangat membela kebenaran, keadilan, dan kepentingan bangsa yang lebih luas.
Di balik sikap pesimistis masyarakat terhadap wajah penegakan hukum dan perilaku penegak hukum, setidaknya masih ada aparatur negara yang tetap tulus dan setia membela kebenaran dan menjaga kepentingan bangsa yang lebih luas.
Mereka setia membela ”negara” dan berkorban meninggalkan keluarga. Mereka menerima gaji yang kecil, jauh dari kemungkinan korupsi atau menerima suap, untuk sebuah tugas negara.
Di Pulau Nipah, Provinsi Kepulauan Riau, hadir sosok yang melaksanakan tugas berat dengan jiwa patriot, tanpa banyak berkoar-koar. Mereka adalah anggota Marinir TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas menjaga pulau di perbatasan Indonesia itu.
Pulau Nipah adalah salah satu pulau terdepan dan strategis sebagai penanda kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelum direklamasi tahun 2004, luas pulau ini tinggal 1,4 hektar. Kini, setelah direklamasi, luasnya mencapai 60 hektar.
Tidak ada seorang warga sipil pun yang tinggal di sini. Pohon baru segelintir. Beberapa tanaman, seperti semangka dan kacang, ditanam anggota Marinir yang bertugas. ”Bulan lalu kami baru tanam 3.300 pohon ketapang,” kata Komandan Pos TNI AL Pulau Nipah Letnan Satu (P) Agus Tuslian.
Pengorbanan yang diberikan anggota TNI AL di Pulau Nipah memang tidak kecil. Apalagi fasilitas di pulau itu, seperti air bersih dan listrik, hampir tidak ada. Listrik mengandalkan genset. Air bersih mengandalkan air hujan yang tergenang di permukaan tanah.
Padahal, tanggung jawab TNI AL sangat besar, yaitu menjaga kedaulatan NKRI. Untuk itu, TNI AL hanya dilengkapi dengan senapan mesin ringan, perahu fiber, dan perahu karet.
”Kalau ada apa-apa, risiko kami paling rendah cacat, paling tinggi, ya, mati,” kata Komandan Satuan Tugas (Satgas) Marinir VII Pulau Nipah Letnan Satu (Mar) Alex Zulkarnaen. ”Pokoknya, kalau ada ancaman, kami sebagai pasukan tempur yang di depan harus bertahan dan lapor,” paparnya lagi.
Satgas ini diganti enam bulan sekali. Selama enam bulan itu prajurit tidak boleh meninggalkan pulau. Prajurit Satu (Mar) Rahman (27) dan Prajurit Dua (Mar) Faturohman (24) adalah 2 dari 34 anggota Marinir yang menjaga Pulau Nipah.
Sebulan yang lalu putra kedua Rahman, Azka Hurina, lahir. Rahman yang tak boleh pulang hanya bisa gundah gulana sepanjang hari sambil terus berusaha mencari sinyal telepon seluler yang meredup seiring angin kencang yang datang. Akhirnya, pukul 02.30, setelah menghabiskan Rp 100.000 untuk pulsa, ia mendengar tangisan Azka untuk pertama kali.
Tidak bisa bertemu keluarga hanya satu dari sekian tantangan yang harus dihadapi. Sehari-harinya mereka harus bergulat dengan suasana pulau yang gersang dan tiupan angin yang kencang pada malam hari.
Meskipun dengan segala keterbatasan, anggota TNI AL itu tetap dapat mensyukuri apa yang diterima. Mereka tetap setia bertugas meski dengan gaji yang tidak besar.
Dengan uang makan yang terdiri dari uang makan operasi, uang saku, dan uang lauk-pauk rata-rata sebesar Rp 34.000 sehari, mereka harus membeli air minum galon dan bahan makanan di Pulau Batam dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dengan perahu nelayan, pompong. Menu utama mereka, mi instan yang ditumis dengan kol ditambah telor.
”Kami tak ada tunjangan dengan bertugas di pulau terluar karena kondisi ini dianggap tugas biasa,” kata Alex. Padahal, biaya angkut dengan perahu masyarakat itu sekitar Rp 500.000 sekali jalan, belum lagi harga kebutuhan pokok di Batam yang mahal karena didatangkan dari luar Batam.
Di televisi, prajurit TNI kerap melihat tingkah birokrat dan anggota parlemen di Jakarta, termasuk rencana permintaan untuk naik gaji. Saat ditanya apakah ingin naik gaji, Rahman dan Faturohman terdiam. Tak sepatah kata pun keluar.
”Kami tidak ingin meminta. Terserah atasan saja. Tetapi, kalau dikasih, ya, kami bersyukur,” kata Alex.
Tambahan gaji bagi prajurit yang bertugas, apalagi harus meninggalkan keluarga, memang patut dipertimbangkan. Daripada uang negara dikorupsi atau uang publik digunakan untuk menalangi bank bermasalah yang kini kian tidak jelas.***
Source : Kompas, Selasa, 10 November 2009 | 02:47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar