Cekungan Bandung
Ketika Lambang Kota Terbalik...
Layar proyektor multimedia, hari itu, berfungsi baik. Peserta diskusi tidak ada yang mengaku sedang sakit kepala. Namun, Sabtu (7/11) sore itu, di layar proyektor, lambang Kota Bandung terlihat terbalik!
Lambang Kota Bandung, seperti kita tahu berbentuk perisai, dengan gambar Gunung Tangkubanparahu berwarna hijau di tengahnya, langit keemasan di atas, dan air berwarna biru di bawahnya, sangat berbeda dengan lambang yang terpampang hari itu.
"Langit kuning kini menjadi biru keputih-putihan akibat polusi udara. Garis tebal hitam menandakan semua lahan tertutup beton, mangkuk hijau terbalik menunjukkan waduk-waduk terisi sampah dan kotoran, dan air tanah kuning yang artinya mengering," tutur geolog, T Bachtiar, memaparkan makna lambang Kota Bandung terbalik itu dalam diskusi tentang Cekungan Bandung di Common Room, Bandung.
Ia menjulukinya "Bandung Distress" (Bandung terancam). Menurut Bachtiar, Cekungan Bandung, yang terbentuk ribuan tahun lalu sebagai sebuah fenomena alam, kini menghadapi degradasi daya dukung lingkungan. Kondisi ini ia ibaratkan dengan acungan jempol terbalik. "Indikator lingkungan rusak adalah hujan es dan hujan teramat deras. Sungai tercemar dan kering saat kemarau, air tanah berkurang dan permukaannya turun, sementara hutan gundul berganti vila. Ini telah terjadi," ujar anggota Klub Riset Cekungan Bandung ini.
Saking tamaknya manusia, sampai-sampai, wilayah yang pernah menjadi tempat tinggal nenek moyang warga Jabar dan pusat purbakala, seperti kompleks Gunung Masigit dan Manglayang, rusak akibat penambangan. Ia menambahkan, upaya penyelamatan kota dan lingkungan saat ini tidak lagi bisa mengandalkan kebijakan pemerintah. Semuanya kembali kepada warga kota.
"Saatnya gerakan warga kota dilakukan lewat konsumen hijau dan demonstrasi hening. Sebagai contoh, jika tahu ada hotel menebangi pohon, ya kita tidak usah menginap di sana. Kalau ada FO merusak trotoar, enggak usah kita mampir belanja di sana," ujarnya.
Kampanye publik
Dede Mariana, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan LPPM Unpad, membenarkan, upaya memperbaiki kondisi lingkungan di Cekungan Bandung membutuhkan kampanye publik yang luas dan terencana.
"Jangan terlalu berharap kepada pemerintah. Para birokrat ini hidup di dunianya sendiri. Sulit diandalkan" katanya. Menurut dia, titik lemah pelestarian Cekungan Bandung adalah persoalan tidak efektifnya regulasi.
"Seperti yang pernah disampaikan almarhum Prof Otto (pakar lingkungan Unpad), kuncinya ADS (atur diri sendiri) dulu," katanya menekankan pentingnya kesadaran melestarikan lingkungan bagi setiap individu warga. (Yulvianus Harjono)***
Source : Kompas, Selasa, 10 November 2009 | 14:05 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar