Dana "Remittance" Digunakan untuk Kebutuhan Konsumtif
INDRAMAYU - Upaya memberantas kemiskinan di Kabupaten Indramayu tidak mudah karena terbelenggu faktor budaya yang membentuk pola kemiskinan kultural. Akibatnya, jumlah keluarga miskin terus bertambah, bahkan mencapai sepertiga dari total keluarga di kabupaten ini.
Tahun 2006, jumlah keluarga miskin yang tercatat 158.646 keluarga, sedangkan pada tahun 2008 bertambah menjadi 169.720 keluarga dari 506.000 keluarga di Indramayu. Apabila dihitung dari jumlah penduduk, lebih dari 25 persen jumlah penduduk Indramayu saat ini, 1,73 juta jiwa, tergolong rakyat miskin.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu Apas Fahmi, Sabtu (31/10), mengakui, tidak mudah menghapus kemiskinan di Indramayu. Sebab, masyarakat menganggap kemiskinan adalah hal biasa dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi, karakter masyarakatnya cenderung kurang kreatif bahkan malas.
"Budaya masyarakat agraris menjadikan angka kemiskinan di Indramayu tinggi. Kemungkinan sampai 40 persen keluarga di Indramayu tergolong kategori miskin. Oleh karena itu, yang harus diubah adalah pola pikir masyarakatnya," ujar Apas.
Kebiasaan menggelar hajatan besar-besaran dan budaya konsumtif masyarakat, ujar Apas, merupakan salah satu penyebab bertahannya angka keluarga miskin itu. Pola berpikir kreatif dan produktif belum banyak dimiliki warga Indramayu sehingga mereka cenderung bergantung pada alam, tanpa ada upaya lebih. Bagi mereka, tanpa modal, usaha produksi tidak bisa berjalan.
Kepala Seksi Statistik Sosial BPS Indramayu Caswandi mengatakan, petani adalah masyarakat yang paling rentan mengalami kemiskinan. Berdasarkan data BPS, sekitar 37 persen penduduk miskin di Indramayu adalah petani. Ketidakpastian kondisi pertanian, seperti bergantung pada cuaca, pasokan pupuk, serangan hama, dan ketersediaan air, menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani.
Konsumtif
Melihat luas lahan pertanian Indramayu yang mencapai 120.000 hektar dan potensi hasil tangkap ikan di laut yang melimpah, seharusnya tidak ada rakyat miskin. Sayangnya, sempitnya rata-rata kepemilikan lahan, hanya 0,3 hektar, dan kebanyakan buruh tani, berakibat pada tingkat kesejahteraan yang mereka peroleh juga terbatas. Ironisnya, Indramayu merupakan lumbung padi nasional, tetapi hanya 30 persen produksi beras per tahun yang dikonsumsi masyarakat Indramayu. Sisanya dijual ke luar Indramayu.
Selain itu, meski aliran dana remittance dari warga Indramayu yang bekerja di luar negeri per tahun mencapai Rp 300 miliar, atau lima kali pendapatan asli daerah Indramayu, tetap saja angka kemiskinan masih tinggi. Sebab, besarnya dana yang masuk malah digunakan untuk membiayai kebutuhan konsumtif, seperti memperbaiki rumah dan membeli perabot rumah tangga, bukannya dipakai untuk kegiatan produktif.
Untuk pemberantasan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Indramayu telah melakukan sejumlah program, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bantuan langsung yang berbentuk Program Keluarga Harapan bertujuan memberi bantuan pendidikan dan kesehatan kepada keluarga miskin bersyarat. Selain itu, ada juga Yayasan Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat Keluarga Miskin yang kini memiliki dana berkisar Rp 14 miliar untuk membantu menyejahterakan keluarga miskin.
Bentuk pemberantasan kemiskinan secara tidak langsung adalah dengan penyediaan dana pendidikan dan pengobatan gratis, serta membangun infrastruktur jalan desa. Setidaknya, kata Apas, 40 persen APBD Indramayu, Rp 1,2 triliun, untuk memberantas kemiskinan. (THT)***
Source : Kompas, Senin, 2 November 2009 | 13:28 WIB
tanpa mengurangi rasa optimisme, musti dimulai dari aspek yang mana dulu nih pak? (eko, pndidikan, budaya, dll)...-_-
BalasHapus