Selasa, 06 Oktober 2009

Akibat Paceklik, Banyak Warga Makan Nasi Aking

Makan Nasi Aking

Keluarga Turmudi, warga Blok Tonggo, Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyantap nasi aking di depan rumah mereka, Sabtu (3/10). Paceklik pada musim kemarau ini membuat mereka tak mampu mendapatkan beras. (Foto : Kompas/Siwi Yunita Cahyaningrum)***

Warga Kapetakan Makan Nasi Aking

Buruh Tani Butuh Pekerjaan agar Punya Uang

CIREBON - Sebagian warga di Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, masih mengonsumsi nasi aking atau nasi sisa yang dikeringkan. Sedikitnya 90 orang di Dusun Dukuh dan di Desa Pegagan Kidul mengaku tak mampu membeli beras selama musim paceklik ini.

Turmudi (55), pengangon bebek dari RT 1 RW 2 Blok Tonggo, Desa Pegagan Kidul, mengaku, harga beras yang saat ini mencapai Rp 5.000 per kilogram (kg) di tingkat eceran tak terbeli oleh dia dan sejumlah tetangganya yang umumnya berprofesi sebagai buruh tani. Pendapatan para buruh tani kurang dari Rp 10.000 per hari dan Turmudi harus menghidupi seorang istri, dua anak balita, dan ibunya.

Karena itu, ia hanya sanggup membeli nasi aking yang harganya Rp 2.000 per kg. Beras miskin jatah dari pemerintah hanya cukup untuk sehari atau dua hari makan karena hanya diterima 4,5 kg.

Adapun Hatitiah, warga Dusun Dukuh Kecamatan Kapetakan, sehari-hari tak jauh dari nasi aking. Beras hanya didapatkan ketika ia bekerja sebagai buruh pemanen padi saat pembagian zakat sebelum Idul Fitri atau saat pembagian raskin.

Hatitiah dan Turmudi saat ini menganggur karena persawahan yang mereka garap mengalami paceklik pada musim kemarau. Pembagian zakat hanya setahun sekali dan beras miskin jatah pemerintah sebanyak 7 kg hanya cukup untuk mengganjal perut selama 2-4 hari. ”Kadang diselang-seling dengan ubi atau ketela, tetapi lebih sering aking,” kata Hatitiah.

Menurut dia, mengonsumsi nasi aking bertahun-tahun tak membuatnya sakit perut. Kalau pun merasa sakit, biasanya diobati dengan mengonsumsi daun jambu biji.

Casila, Ketua RT 1 RW 2 Blok Tonggo, juga mengakui, setidaknya 100 kepala keluarga atau sekitar 40 orang di RT-nya masih banyak yang mengonsumsi nasi aking.

Menurut Hatitiah, jumlah tetangganya yang saat ini diperkirakan juga makan nasi aking berjumlah 10 kepala keluarga atau sekitar 40-50 jiwa. Mereka ini kebanyakan juga buruh tani.

Beras jatah pemerintah untuk warga miskin memang tidak utuh karena dibagi rata sehingga warga hanya memperoleh 4,5 kg per kepala keluarga. ”Saya tak bisa berbuat banyak karena tekanan warga. Warga yang hidupnya layak bahkan pegawai negeri sipil pun minta jatah,” katanya.

Munculnya nasi aking sebagai konsumsi warga, menurut Kepala Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah Cirebon Ano Sutrino, tidak terlepas dari rendahnya daya beli warga. ”Salah satu cara meningkatkan perekonomian warga ya dengan menyediakan proyek perbaikan pengairan dan irigasi agar petani dan buruh tani bisa hidup lagi. Waduk Jati Gede menjadi harapan dalam hal ini,” kata Ano Sutrino. (NIT)***

Source : Kompas, Senin, 5 Oktober 2009 | 04:05 WIB

1 komentar: