Jumat, 02 Oktober 2009

Kegembiraan Rakyat RRC Setelah 60 Tahun

60 Tahun RRC

Oleh : I Wibowo

Salah satu bangunan yang muncul di tengah kota Beijing dan menggegerkan masyarakat China pada tahun 1992 adalah gerai makanan cepat saji McDonald’s. Masyarakat Beijing terenyak atas datangnya makanan Amerika Serikat ini dan menyambutnya dengan penuh gairah, lebih bergairah ketimbang ketika dibuka di Shenzhen pada 1990.

Mereka bersemangat menyambut produk AS yang paling terkenal di seluruh dunia itu, tak peduli dengan harga yang mahal. Dalam waktu singkat, gerai makanan cepat saji yang menjadi ikon Amerika ini telah merebak di kota Beijing dan juga kota-kota lain di China.

Tiga puluh tahun kemudian tidak ada produk AS yang tidak ada di China. Makanan, minuman, pakaian, sepatu, tas, mainan, mobil, dan lainnya yang berasal dari AS menguasai pasar China. Tentu saja komputer asal AS yang terkenal. Segala jenis barang dan jasa yang berasal dari AS telah masuk dan diterima di China.

Gairah ini tidak hanya tampak di tingkat pemimpin, tetapi juga di kalangan intelektual dan rakyat jelata. Dan akhirnya adalah cita-cita pembangunan bangsa itu sendiri.

Apa cita-cita pembangunan China saat ini? Menandingi AS. China menjadikan AS sebagai sasaran dan tatapan matanya. Apa yang dilakukan oleh AS, China harus dapat melakukan. Apa yang dapat dicapai oleh AS, China harus dapat mencapainya.

Yang hebat di AS harus juga dapat dibuat di China, bahkan mungkin lebih hebat lagi. Kota New York harus dibangun juga di China dan terlaksana di Shanghai. AS dapat mengirim manusia ke ruang angkasa, China segera mengejarnya dan sudah berhasil mengirimkan ”taikonot” mereka keliling bumi.

Ketika Yao Ming direkrut menjadi pemain basket profesional (NBA) di AS, orang China tidak hentinya menceritakan peristiwa ini. Begitu pula kemenangan atlet-atlet China pada Olimpiade Beijing (2008) sebagai juara umum. Mereka bangga bahwa China dapat melewati AS.

Dalam perdagangan, China mampu menaklukkan AS sehingga negeri Paman Sam ini mengalami defisit besar. Koran-koran China pasti memuat berita yang memperlihatkan angka statistik dalam hal apa saja jika itu menyamai atau melebihi AS.

Awal 2009 ini, China boleh amat bangga bahwa untuk pertama kalinya posisi China diperhitungkan setara oleh AS. Adalah Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, yang pertama melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global saat ini hanya bisa diselesaikan oleh G-2.

Maksudnya adalah AS dan China. Gagasan ini menguat, lalu masuk China, dan membuat banyak intelektual China berbunga-bunga. Krisis keuangan global yang mulai pada September 2008 memang telah mengubah seluruh tata ekonomi dunia, termasuk hubungan China dan AS.

Mengejar AS

Mengapa Amerika Serikat?

Jika memerhatikan retorika akhir tahun 1950-an hingga 1960-an, tak terbayangkan bahwa China mengagumi AS. Bersama Stalin dan Khruschev, Mao mengkritik dan mengecam AS sebagai gembong kapitalis terbesar.

Namun, jika melacak hingga ke tahun 1930-an, pemimpin elite China (baik Chiang Kai-shek maupun Mao Zedong) sebenarnya menyimpan rasa kagum yang besar terhadap AS. Mao tercatat amat mengagumi presiden pertama Amerika, George Washington. Persahabatannya dengan Edgar Snow, wartawan Amerika, pernah mendorong dia untuk berpikir mengadakan kerja sama dengan AS untuk mengusir Jepang (He Di, 1994).

Paling jelas ketika Mao melancarkan Lompatan Jauh ke Depan pada 1959. Mao mengatakan mau mengejar AS dalam 15 tahun dan Inggris dalam 10 tahun. Padahal, program itu adalah program untuk menciptakan masyarakat komunis!

Alasan geopolitik mungkin berperan, tetapi alasan lain jelas bermain. Ketika Mao mau berjabat tangan dengan Nixon pada tahun 1972, proses normalisasi pun bergulir. Mao tidak menyaksikan normalisasi hubungan dengan AS, tetapi penggantinya, Deng Xiaoping, jelas mempunyai visi yang sama. Puncaknya adalah pada tahun 1979 ketika China dan AS setuju untuk membuka hubungan diplomatik.

Beberapa pekan kemudian Deng Xiaoping terbang ke AS, mengadakan tur ke beberapa kota. Selama di AS, Deng tak henti berdecak kagum atas kemajuan AS, terutama di bidang teknologi. Bersamaan dengan itu, seluruh masyarakat China dilanda ”demam Amerika”.

Dalam studinya tentang persepsi China terhadap AS pada akhir tahun 1980-an, David Shambaugh menemukan bahwa di lingkungan kader elite Partai Komunis China memang sudah ada rasa kagum yang kuat terhadap AS. Meski masih gencar menulis kritik terhadap ”imperialisme AS”, mereka tetap mengagumi AS. Imperialis namun dikagumi. Maka buku Shambaugh pun diberi judul Beautiful Imperialist.

Pada tahun 1997, persis ketika China dan AS terbekap aneka macam perselisihan, polling oleh Institut Pendapat Publik, Universitas Renmin, menemukan sikap positif masyarakat China terhadap AS. Bahkan, ditemukan bahwa masyarakat China mempunyai sikap yang lebih positif terhadap orang AS daripada terhadap orang Jepang, Jerman, dan Rusia.

Ketika pada tahun-tahun itu muncul buku-buku yang anti-Amerika sekalipun, kekaguman terhadap kemajuan AS tidaklah luntur. Hasil yang sama tampak dalam penelitian tahun 2005 oleh Global Times. Responden amat positif terhadap kemajuan ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, serta kebudayaan Amerika. Hal ini menjadi kian menarik ketika dibaca dengan latar belakang persepsi yang negatif terhadap AS yang sedang melanda dunia saat ini (Kohut and Stokes, 2006).

Gaya gravitasi dari Amerika

Sejak kekalahan memalukan pada Perang Candu 1840, China sebagai bangsa sangat bertekad untuk belajar dari bangsa lain karena China merasa tidak mungkin memperbaiki diri dengan Konfusianisme.

Mula-mula China menoleh ke Eropa, mengirim banyak mahasiswa ke Eropa, terutama Perancis. Mereka mau menimba cita-cita Revolusi Prancis untuk dipakai mengubah keterpurukan bangsanya. Demonstrasi besar oleh mahasiswa pada 4 Mei 1919 menolak Konfusius dan Konfusianisme, serta memilih ”Mr Science and Mr Democracy” sebagai solusi masalah.

”Gerakan 4 Mei” ternyata tidak bertahan lama, digantikan dengan kekaguman akan Revolusi Bolshevik pada 1917.

Sekelompok besar orang China bertekad menanamkan Marxisme dan komunisme serta meniru Rusia (Uni Soviet). Mereka mendirikan partai politik dan sejak 1949 hingga tiga dekade ke depan menerapkan model Uni Soviet di China.

Namun, gerakan komunisme ini tidak memuaskan bangsa China. Kegagalan itu membuat China memikir ulang sikapnya terhadap AS, musuh besarnya. Mao dan kemudian Deng membuka jalan bagi perubahan ini. Ketika ”Reformasi dan Keterbukaan” diumumkan tahun 1978, China menempatkan Amerika yang kapitalis sebagai target untuk dicapai.

Selama tiga dekade kedua, AS telah menjadi sumber inspirasi, sedemikian rupa, sehingga China seolah-olah tidak dapat hidup tanpa AS. Kini China memandang AS sebagai penghela jalan sejarahnya ke masa depan. Banyak hal yang telah dicapai oleh AS ingin dikejar oleh China. Dan yang belum dicapai oleh China akan terus dikejar. Mungkin dalam hati orang China tebersit keinginan bahwa AS tidak boleh lenyap agar mereka tetap dapat mengalami gaya gravitasi yang muncul dari AS.

Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penjiplakan mentah-mentah. China tidak akan, bahkan tidak mungkin, menjadi kembaran AS. Walaupun bermimpi untuk menjadi seperti AS, China telah berhasil melahirkan sendiri ”model China”. Mungkin lebih tepat untuk dikatakan bahwa AS telah menimbulkan gaya gravitasi yang luar biasa kuat sehingga China seakan-akan terus terarah ke sana meski tidak terperangkap di dalamnya.

Ketika mereka memperjuangkan demokrasi pada tahun 1989, para mahasiswa dan intelektual mendirikan replika Patung Liberty yang ada di New York. Perjuangan yang berubah menjadi drama berdarah ini mengungkapkan kerinduan terdalam sebagian warga China untuk meniru dan mengejar AS dalam hal mendirikan negara yang demokratis.

Mungkin hal ini hanya keinginan yang tertunda, yang akan terlaksana pada waktunya nanti. Pada ulang tahun ke-60 ini China tetap dapat memandang AS sebagai inspirator pembangunannya.

I Wibowo, Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional

FISIP-UI; Ketua Centre for Chinese Studies FIB-UI

Source : Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:32 WIB

Foto : Xinhua/ Li Gang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar