Kamis, 15 Oktober 2009

Calon Peraih Nobel Dari Provinsi Papua

Hasil ujian matematika Merlin Kogoya, siswa kelas III SD dari Kabupaten Tolikara, Papua, diperiksa ulang Yohanes Surya dari Surya Institute, Rabu (30/9). Beberapa soal cerita salah dijawab karena Merlin mengalami kesulitan dalam memahami bahasa. (Foto : Kompas/Luki Aulia).

PENDIDIKAN DI PEDALAMAN

Mengasah "Calon Peraih Nobel" dari Papua

Oleh : Try Harijono dan Luki Aulia

Berikanlah soal Matematika yang sulit. Terserah soal apa saja. Merlin Enjelin Rosalina Kogoya (9) dan Demira Jikwa (8) pasti bisa menjawabnya dengan benar dan sangat cepat. Padahal, keduanya bukanlah siswa sekolah favorit di kota besar atau di Jakarta.

Kedua anak tersebut adalah siswa kelas III sekolah dasar di Kabupaten Tolikara, daerah pedalaman di Provinsi Papua.

Tidak mudah menemukan kabupaten tersebut dalam peta. Maklum, kabupaten pemekaran. Tidak gampang pula untuk menjangkau kabupaten di daerah pegunungan Papua itu. Hanya pesawat kecil berkapasitas beberapa orang yang bisa menjangkau kabupaten itu. Itu pun jika cuaca memungkinkan.

Namun, berbagai keterbatasan alam tersebut tidak menghalangi Merlin dan Demira untuk piawai dalam Matematika. Kepiawaian mereka dalam Matematika dibuktikan di sebuah ruang pertemuan di Jayapura, awal September lalu.

Disaksikan para pejabat, tokoh masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, atraksi kedua siswa tersebut membuat tercengang. Soal-soal untuk siswa kelas VI bisa dikerjakan dengan baik. Soal-soal penambahan, perkalian, perhitungan desimal, kuadrat, dan pitagoras bisa mereka selesaikan dengan sangat cepat.

”Kalau soal cerita, memang sedikit bingung,” kata Merlin, siswa kelas III SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Persekutuan Gereja-Gereja Kristen Injil di Papua.

Diuji di Jakarta

Tak cukup di Jayapura, pembuktian serupa dilakukan akhir September lalu di Jakarta. Selain Merlin, ada pula dua siswa kelas VI SD Negeri Tolikara, yakni Ali Kogoya dan Wemi Jikwa. Ketiganya menjalani simulasi ujian Matematika oleh Surya Institute. Mereka diberi 40 soal Matematika dengan waktu pengerjaan 120 menit.

Setelah ujian selesai dan hasilnya diperiksa Surya Institute dan Qindy Academy, Wemi mendapat nilai 6,75, sedangkan Ali dan Merlin sama-sama mendapat nilai 6,25.

”Ini luar biasa karena syarat ujian nasional hanya 4,25,” kata Yohanes Surya, pemimpin Surya Institute.

Metode ”gasing”

Merlin, Wemi, Demira, dan Ali adalah empat dari lima anak dari Kabupaten Tolikara yang mengikuti pelatihan Matematika metode ”gasing” (gampang, asyik, dan menyenangkan) dari Surya Institute. Pelatihan baru berlangsung lima bulan dari enam bulan yang direncanakan, tetapi anak-anak ini bisa mengerjakan soal-soal Matematika dengan baik.

Yohanes Surya membantah bahwa siswa yang dipilih merupakan siswa-siswa berintelegensia tinggi. ”Tidak mungkin melakukan tes IQ karena anak-anak ini sebelumnya tidak lancar membaca. Pemilihan dilakukan secara acak. Siswa pun dipilih dari daerah yang paling terisolasi,” katanya.

Siswa-siswa yang dipilih secara acak ini lalu dilatih di Surya Institute di Jakarta. Penambahan, perkalian, pembagian, dan soal-soal lainnya diberikan secara bertahap. Hasilnya memang luar biasa. Hanya dalam empat bulan, siswa kelas III sudah bisa menyelesaikan soal-soal kelas VI secara sempurna.

”Saya ingin menunjukkan, Matematika itu tidak sulit,” kata Yohanes Surya.

Papua sengaja dipilih karena daerah itu sering dianggap daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah lain dalam soal pendidikan. ”Ternyata anggapan itu keliru. Jika dilatih secara benar, ternyata Matematika bisa mudah dilakukan semua kalangan, termasuk anak-anak di pedalaman Papua,” ujarnya.

Tidak sekadar melatih kelima anak tersebut. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat World Vision Internasional Indonesia, saat ini sudah dilakukan pelatihan metode ”gasing” untuk guru-guru di Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Keerom, dan kabupaten lainnya di Papua.

”Saya mengharapkan dalam tiga tahun ke depan, metode ini digunakan oleh sekitar 300.000 siswa dan guru di Papua,” kata Yohanes Surya. Setelah itu, barulah metode ini akan dikembangkan di daerah lain.

”Untuk mengembangkan metode ini di Papua, World Vision Indonesia yang sudah melayani selama 30 tahun di Papua siap mendukung secara optimal,” kata Direktur World Vision Internasional Indonesia Trihadi Saptoadi.

Dewan Pembina Lembaga Nobel Indonesia Ishadi SK menilai konsep baru pendidikan Matematika Surya Institute terbukti berhasil. ”Dalam waktu 4-6 bulan Matematika bisa dikuasai, sementara pendidikan kita perlu waktu hingga 6 tahun. Jadi mestinya ada waktu 5 tahun yang bisa digunakan untuk belajar yang lain selain Matematika,” ujarnya.

Melihat prestasi yang dicapai anak-anak Papua, Yohanes dan Trihadi berkeyakinan, pada masa mendatang dari Papua bisa lahir peraih penghargaan Nobel. Saat ini saja sudah ada beberapa siswa asal Papua yang meraih prestasi internasional.

Kelima siswa itu pun sekarang ini berlatih mengerjakan soal-soal olimpiade internasional selain Matematika. Tinggal menunggu waktu saja ”Mutiara dari Papua” meraih penghargaan Nobel. ***

Source : Kompas, Kamis, 8 Oktober 2009 | 03:54 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar