Jumat, 02 Oktober 2009

Dari Ulang Tahun Gesang Hingga Sejarah Perang Bubat

Kado Ulang Tahun Gesang

Siswa SMA Pangudi Luhur Santo Yosef menyanyikan lagu-lagu karya Gesang Martohartono dengan iringan musik keroncong di rumahnya di Kampung Kemlayan, Serengan, Solo, Kamis (1/10). Lagu-lagu karya Gesang mereka nyanyikan sebagai kado ulang tahun ke-92 maestro keroncong Gesang. (Foto : Kompas/Heru Sri Kumoro)*** Source : Kompas, Jumat, 2 Oktober 2009


Museum Gunung Merapi


Pengunjung menyaksikan diorama erupsi Gunung Merapi yang menjadi salah satu fasilitas di Museum Gunungapi Merapi di Dusun Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (1/10). Museum ini diharapkan bisa menjadi media penyampaian informasi dan pendidikan ilmu kebumian, terutama yang berkaitan dengan mitigasi bencana letusan gunung api. (Foto : Kompas/Wawan H Prabowo).*** Source : Kompas, Jumat, 2 Oktober 2009

SEJARAH PERANG BUBAT

Dialog Budaya Belum Mencapai Titik Temu

MOJOKERTO - Dialog budaya antara Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat dalam rangka mencari kesepahaman soal latar belakang terjadinya Perang Bubat di tanah Majapahit belum menuai kesamaan pandangan. Kedua tim pembahas yang terdiri atas ahli sejarah, budayawan, praktisi sejarah, dan kalangan akademisi yang bertemu di lokasi sejumlah peninggalan Majapahit di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (30/9), hanya memutuskan perlunya penelitian lanjutan.

Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, yang hadir pada pembukaan dialog itu, mengatakan, sebuah produksi film kolosal yang menggambarkan Kerajaan Majapahit untuk sementara ditunda dulu pembuatannya. Salah seorang wakil tim pembahas dari kubu Jawa Timur, Prapto Saptono, menyebutkan, masih terjadi silang pendapat soal peran Mahapatih Gadjah Mada dalam perang tersebut.

”Akan diadakan penelitian Situs Bubat. Para penulis Jawa Barat masih memojokkan Gadjah Mada. Film tidak boleh dibuat dulu,” kata Prapto, yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur.

Sebelumnya, dialog budaya tahap pertama telah diadakan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, sekitar sebulan lalu, yang juga belum mencapai kesepahaman pandang karena baru bersifat pemaparan.

Esais

Sementara itu, menurut budayawan Sunda, Abdullah Mustappa, yang bersama esais Jakob Sumardjo dan penulis Eddy D Iskandar tergabung dalam tim Jawa Barat, isu Perang Bubat merupakan sesuatu hal yang tetap sensitif hingga kini. ”Sensitif untuk Jawa Barat karena seperti pihak yang dizalimi dalam (Perang) Bubat. Lebih pada masalah psikologis masyarakat,” katanya.

Menurut Abdullah, dialog budaya itu dilakukan dengan tujuan mengangkat nuansa lain di seputar kisah peperangan yang harus terjadi untuk menghilangkan dendam serta tidak menimbulkan dendam baru. ”Perang Bubat itu terus aktual dan seperti baru terjadi kemarin,” kata Abdullah mengenai perang yang terjadi pada abad ke-14 sekitar tahun 1357 tersebut.

Menurut Dede, hasil dari dialog budaya soal Perang Bubat diharapkan dituangkan dalam bentuk tulisan, seperti buku dan sejumlah karya sastra, ataupun produk audio visual, seperti film. Ia mengatakan, dialog budaya itu penting untuk mencari kesepahaman, termasuk soal lokasi Perang Bubat sebenarnya, yang menurut Dede, belum bisa dipastikan pula berada di wilayah Trowulan.

Padukan dua kebudayaan

Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf berharap kesepahaman pandang soal Perang Bubat untuk tahap pertama bisa ditandai dengan sebuah pementasan akhir tahun yang memadukan dua kebudayaan.

Perpaduan budaya itu, kata Saifullah, bisa dilakukan antara seni tradisi dan modern, seperti perpaduan tari remo dari Jawa Timur dengan jaipongan asal Jawa Barat. Selain itu, dipertontonkan pula sejumlah kelompok musik yang akan disiarkan televisi secara nasional.

Perang Bubat antara Majapahit dan pasukan kecil Kerajaan Sunda-Galuh yang dipimpin Maharaja Linggabuana berdasarkan salah satu versi diduga disebabkan keinginan Mahapatih Gadjah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda-Galuh sebagai bagian dari Amukti Palapa demi mempersatukan Nusantara. Perang itu merupakan ”penyelewengan” karena niat semula kedatangan Maharaja Linggabuana ke Majapahit adalah untuk mengantarkan putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi, untuk dinikahi Prabu Hayam Wuruk. (INK)

Source : Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009 | 03:50 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar