Sabtu, 03 Oktober 2009

Batik Indonesia Resmi Masuk Warisan Budaya Tak Benda Dunia

Duta Wisata Kota Semarang memperagakan pakaian batik di Simpang Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/10). Selain peragaan busana, duta wisata yang dikenal dengan Denok Kenang Kota Semarang tersebut membagikan brosur berisi ajakan kepada masyarakat untuk mengenakan batik pada Jumat (2/10) menandai diresmikannya batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh UNESCO. (Foto : Kompas/Bahana Patria Gupta)***

Batik Resmi Masuk Daftar Warisan Budaya

UNESCO Menetapkan dalam Sidang di Abu Dhabi

JAKARTA - Batik Indonesia akhirnya secara resmi dimasukkan dalam 76 warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Batik Indonesia dinilai sarat dengan teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.

Masuknya batik Indonesia dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) diumumkan dalam siaran pers di portal UNESCO, pada 30 September 2009. Batik menjadi bagian dari 76 seni dan tradisi dari 27 negara yang diakui UNESCO dalam daftar warisan budaya tak benda melalui keputusan komite 24 negara yang tengah bersidang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, hingga Jumat (2/10).

Seni dan tradisi China serta Jepang mendominasi Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia yang diumumkan UNESCO. Sebanyak 21 warisan budaya China masuk dalam daftar tersebut, mulai dari teknik pemotongan kertas yang rumit yang biasa diwariskan dari ibu ke anak perempuan, kerajinan, dan pertanian ulat sutra di Provinsi Sichuan, hingga upacara penyembahan Dewi Laut Mazu.

Ada pula seni opera Tibet, seni dekorasi Regong, puisi kepahlawanan masyarakat Kyrgiz di Xinjiang hingga tradisi masyarakat Mongolia berupa ritual nyanyian poliponik.

Sebanyak 13 warisan budaya Jepang diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Warisan budaya itu antara lain tarian dan prosesi rakyat Akiu di Jepang utara hingga pertunjukan seni tertua Jepang yang disebut Gagaku.

Tari tango yang kesohor di dunia juga diakui sebagai warisan budaya tak benda yang diumumkan. Tari tradisional itu awalnya berkembang di masyarakat kota kelas bawah di Buenos Aires, Argentina.

Bagian keseharian

Mohammad Nuh, Menteri Ad Interim Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan, pengakuan batik Indonesia secara internasional tidak bermakna jika masyarakat Indonesia sendiri tidak mengapresiasi batik. Perkembangan batik sekarang mesti terus dipertahankan sehingga tetap menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Pemerintah akan mengembangkan pengakuan, lalu juga membantu untuk memperkuat promosi. Dengan demikian, sentra-sentra batik yang ada semakin berkembang dan mampu memunculkan keunikan-keunikan dalam kreasi batik. Selain itu, pemerintah akan membantu supaya batik mudah mendapat lisensi atau hak paten.

Guru besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, yang telah beberapa kali meneliti sejarah, makna, dan filosofi batik mengatakan, teknik membatik sesungguhnya bukan sebuah penemuan yang tiba-tiba. Batik merupakan proses panjang pengolahan kain yang terus dikembangkan secara turun-temurun. Proses ini seharusnya tidak berhenti meski batik telah diakui sebagai warisan dunia.

Kurator Museum Batik Yogyakarta, Prayoga, mengatakan, imbauan untuk mengenakan busana bermotif mirip batik yang banyak diserukan pemerintah saat ini baru sebatas tindakan sosialisasi. Namun, hal ini belum bisa disebut pelestarian karena tidak ada pewarisan pengetahuan mengenai batik.

”Saat ini banyak orang masih salah menyangka bahwa batik adalah motif kain. Padahal, batik merujuk teknik pembuatan motif di kain berikut filosofinya,” kata Prayoga.

Batik Indonesia memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Keunikan itu terletak pada penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman dalam pembuatannya. Hal ini berbeda dengan teknik pembuatan motif kain dari China ataupun Jepang yang menggunakan lilin.

Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy) Murdokusumo, kerabat Keraton Yogyakarta Hadiningrat mengatakan, pencinta batik saat ini banyak, tetapi pembuatnya semakin berkurang. Selain regenerasi tidak berjalan mulus, kesejahteraan perajin batik juga masih jauh dari harapan.(AFP/ELN/IRE/ARA)***

Source : Kompas, Jumat, 2 Oktober 2009 | 03:48 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar