Sabtu, 17 Oktober 2009

Berapa Kali Dalam Sehari Kita Menyapa Tetangga ?

Forum Budaya

Rahim Kreativitas Jeihan

Oleh : Hikmat Gumelar

"Berapa kali dalam sehari kita menyapa tetangga? Berapa kali dalam sehari kita menyapa teman-teman? Berapa kali dalam sehari kita menyapa orang lain? Tapi, berapa kali dalam sehari, seminggu, sebulan, setahun, kita menyapa diri kita sendiri?"

Begitu lontar Jeihan pada suatu sore, lebih kurang sebulan lalu. Sore itu, saya datang ke studionya di Pasir Layung, Bandung. Saya datang untuk bertemu Atasi Amin, anak sulungnya. Namun, saya lebih beruntung. Waktu saya baru duduk di kursi panjang di ruang tamu, Jeihan muncul dari ruang dalam studionya.

Dia yang berkopiah dan hanya memakai kaus oblong serta sarung itu tidak hanya tersenyum dan menyapa dengan menyebut nama depan saya, tetapi juga berucap, "Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Terakhir kamu datang tahun 1987." Monumental

Jeihan lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 26 September 1938. Dia sudah sepuh, tetapi ingatannya masih tajam. Apa sebab? Belum sempat saya mendapat jawaban, dia sudah bicara lagi dan banyak darinya yang di luar dugaan. Misalnya, dia tiba-tiba bilang, "Jangan takut bermimpi." Ini berkaitan dengan penyair Sapardi Djoko Damono, sahabatnya sejak di SMA III Solo.

Saat itu hampir tiap pulang sekolah mereka suka ke pemakaman Belanda. Di sana keduanya kerap sampai larut malam. Selain baca-baca buku, sering keduanya mengulang mimpi yang sama. "Saya mimpi jadi pelukis besar. Sapardi mimpi jadi penyair besar. Sapardi bilang, 'Pelukis akan lebih dulu kaya. Nanti terbitkan kumpulan puisiku, ya.' Bener! Saya kaya duluan. Dan, saya terbitkan DukaMu Abadi. Monumental!"

Saya menarik napas. Jeihan bangkit dari kursi di sebelah kursi panjang yang saya duduki. Dia mengajak saya melihat bagian belakang studionya. Kami keluar dari ruang tamu. Di mulut gang selebar lebih kurang 1 meter yang kemudian kami jejaki, dia menunjuk bangunan rumah kayu di sebelah kanan kami. "Penyair Zawawi Imron pernah tidur di situ. Kalau kau ada tamu dari luar kota, nginap saja di situ. Boleh. Saya senang."

Saya menarik napas lagi. Kaki menapaki gang agak menurun. Jeihan lebih dulu. Dia berhenti di dekat rumpun bambu. Di situlah dia melontarkan perkataannya yang kita baca di awal. Mungkin ada yang menandai itu sebagai egoisme Jeihan, tetapi hemat saya justru sebaliknya. Dia tak menyatakan bahwa kita jangan menyapa tetangga, teman, atau orang lain. Semua itu perlu disapa. Namun, jangan lupa, kita juga perlu menyapa diri kita. Ini seperti bertaut dengan Gabriel Marcel.

Manusia, menurut filsuf Jerman itu, adalah sang musafir. Hidupnya untuk bersatu dengan Engkau Absolut (Tuhan). Untuknya, manusia mesti menyapa dirinya, mengusut situasi-situasinya yang selalu berselubung misteri. Di bagian terdalam situasi-situasinya akan disua Tuhan. Sulit memang. Namun, ini bisa diatasi dengan terus bekerja sama dengan orang lain. Hanya, kerja sama ini baru mungkin jika orang lain hadir sebagai subyek. Itulah kenapa, pertanyaan-pertanyaan Jeihan itu terasa bertaut dengan Marcel. Tautannya lebih kuat lagi jika kita ingat "Salam": Haiku/Hai kita. "Salam"

Memang peran Jeihan dalam sastra kalah populer dibandingkan dengan perannya dalam seni rupa. Dalam seni rupa, terutama seni lukis, peran Jeihan memang besar, tidak saja dengan sosok-sosok bermata bolong dalam kanvas-kanvasnya. Namun, dia juga menjadi salah seorang pelopor melambungnya harga lukisan sehingga dunia seni lukis lantas mengalami "bom seni lukis".

Meski begitu, peran Jeihan dalam sastra tidak kecil. Misalnya, saat di SMA, dia memimpin majalah dinding. "Puisi-puisi Sapardi paling sering saya muat. Namanya sering saya main-mainkan jadi Supardi Djoko Damono," ucapnya sambil tertawa. Sapardi membenarkan ucapan itu. Begitupun soal penerbitan DukaMu Abadi. Buku puisi pertamanya ini langsung menobatkannya sebagai penyair tangguh.

Goenawan Mohamad dan A Teeuw, misalnya, membahasnya dengan respek dan kagum. Sapardi sendiri, dalam sebuah obrolan belum lama lalu, mengaku bahwa terbitnya DukaMu Abadi membuatnya kian percaya diri dan terlecut untuk terus menyair. Kolam, kumpulan puisi Sapardi terbaru, merupakan bukti bahwa Sapardi merupakan satu dari segelintir penyair sepuh Indonesia yang masih menulis puisi-puisi bermutu. Kolam terbit dengan dana penuh dari Jeihan.

Gerakan puisi mbeling adalah sebuah gerakan yang mengguncang tatanan sastra kita dan membuka kemungkinan baru untuk bersastra, terutama dalam bidang puisi. Banyak yang menilai Remy Silado sebagai dedengkotnya. Padahal, ide gerakan puisi mbeling lahir dalam perdebatan-perdebatan pada paruh pertama tahun 1970-an yang banyak berlangsung di rumah Jeihan di Gang Mesjid, Cicadas, Bandung. Jeihan yang saat itu masih miskin adalah motornya.

Jeihan begitu tentu karena dia dekat dengan sastra. Bahkan dia pun menyair. Tak banyak memang puisinya. Namun, dari yang tak banyak itu banyak yang mengejutkan dan berumur panjang. Salah satunya adalah "Salam'.

Para pecandu sastra tahu bahwa haiku adalah satu jenis puisi Jepang. Saat menyua haiku dalam "Salam", mungkin mereka sontak ingat jenis puisi itu. Jika begitu, bisa jadi mereka akan nyengir kuda karena haiku dalam "Salam" ternyata tidak mengacu pada itu. Situasi ini tampak sengaja diarahkan demi menguatkan kehadiran baris berikutnya: Hai kita, yang karenanya, makna "Salam" menjadi lebih menghujam. Akan tetapi, apa maknanya? Satu puisi bisa mengais seribu makna.

Saya pribadi merasa diajak "Salam" untuk menyelami lautan diri, mengusut jalinan relasi dengan orang lain. Sebab, diri selalu ada dalam jalinan relasi dengan diri-diri lain. Pengusutannya akan gagal jika orang lain direduksi menjadi hanya sekadar obyek kepentingan saya. Keberhasilannya baru mungkin jika kita bisa membantu orang lain hadir sebagai subyek, yang karenanya khas dan unik. Memang sulit. Namun, mampu mengatasinya akan mengantar kita pada pengalaman persekutuan dengan sesama.

Pengalaman ini, ditegaskan Marcel, merupakan jalan menuju persekutuan dengan Engkau Absolut, yang adalah kerinduan dasar hidup manusia. Maka, hemat saya, dengan "Salam", Jeihan mengajak kita menanam dan merawat simpati dan empati terhadap orang lain. Laku ini diungkapnya sebagai upaya mereguk apa yang merupakan kerinduan dasar kita selaku manusia, yakni bersatu dengan Tuhan.

Saya curiga, jangan-jangan "Salam" yang ditulis tahun 1973 itu merupakan manifestasi dari hidup Jeihan, terlebih seusai mendengar pertanyaan-pertanyaannya yang membuka tulisan ini. Saya pun menduga, jangan-jangan itu yang membuat Jeihan yang pada 26 September lalu genap 71 tahun ini masih tetap bernalar tajam dan berimajinasi liar, tetap melukis, mematung, dan menyair.

Saya menduga demikian karena konsekuensi dari paham yang terkandung dalam "Salam" adalah sikap yang terbuka terhadap sesama, laku yang mengundang orang lain sukacita memasuki hidup kita. Proses ini menjadikan hidup kita menjadi kaya dan matang. Hidup yang kaya dan matang ini, saya dengar, merupakan rahim berbagai kreativitas.

HIKMAT GUMELAR,

Peminat Sastra, Bergiat di Institut Nalar Jatinangor

Source : Kompas, Sabtu, 17 Oktober 2009 | 11:41 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar