Senin, 16 November 2009

Kerajinan Patung Dari Limbah Peti Telur

Bejo Wage Suu. (Foto : Kompas/Sri Rejeki)***

Bejo Wage Suu dan Seni Liping

Oleh : Sri Rejeki

Di tangan Bejo Wage Suu, limbah peti telur dapat menjadi kerajinan bernilai seni dan bernilai ekonomi yang relatif tinggi. Dari peti telur berbahan kayu pinus, dia membuat patung-patung mini setinggi 5 sentimeter. Dengan satu peti telur yang diperolehnya cuma-cuma dari para mbok bakul di pasar-pasar tradisional di Solo, Jawa Tengah, dapat dibuat 100 patung mini.

Namun, karena makin sedikit peti telur yang berbahan kayu pinus, Bejo kemudian beralih menggunakan lembar-lembar kayu pinus untuk bahan baku patung mininya. Dari satu lembar kayu pinus berukuran 100 x 10 x 1 sentimeter yang dibelinya seharga Rp 1.800 misalnya, dapat dibuat 200 patung mini. Harga patung itu sekitar Rp 50.000 per buah.

Jika Bejo membuatnya menjadi papan catur berukuran 60 x 60 sentimeter dengan bidak-bidak catur berupa prajurit kerajaan kuno, karyanya dihargai hingga Rp 10 juta per satu set papan catur. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai itu bertambah tinggi.

Untuk membuat patung itu, Bejo hanya perlu gergaji tripleks dan pisau pemotong (cutter). Selain kayu pinus lembaran, bahan penunjang adalah bubuk kayu, kulit kayu, perca kain batik, dan sejenis tripleks.

Bejo menyebut karyanya sebagai ”patung”. Patungnya diukir menjadi sosok orang tengah mengerjakan berbagai aktivitas yang belakangan ini—terutama bagi mereka yang tinggal di kota besar—jarang ditemui, seperti menumbuk padi, kerokan, naik sepeda, membatik, menimba air, membajak sawah, atau main congklak. Sudah puluhan aktivitas ia rekam melalui patung-patung kecil yang dia ”dandani” dengan kain dan kemben atau belangkon.

”Sementara ini, yang saya buat baru mengabadikan figur dengan busana khas Jawa Tengah. Ke depan, saya ingin menggarap kegiatan tradisi lewat patung yang menggunakan busana khas setiap daerah di seluruh Nusantara,” kata Bejo yang bernama asli Maryono.

Melalui karyanya, Bejo juga ingin berkisah tentang kekayaan warisan budaya bangsa yang hampir tak lagi dikenal kaum muda. Ia mengambil babad kuno sebagai sumber inspirasi sehingga terciptalah papan catur dengan buah catur yang diberi karakter bersumber dari cerita kuno, seperti perang Mataram dan Baratayudha.

Tentang kehidupan

Dari rekaman kehidupan yang diabadikan lewat patung-patung mini, karya Bejo lantas disebut orang ”seni liping”. ”Awalnya, saat ditanya orang, opo iki, Mas, saya jawab living, maksudnya kehidupan. Lama-lama orang menyebutnya liping,” katanya terkekeh.

Ia lalu mengabadikan istilah ”liping” menjadi jargon usahanya, ”The Liping Art of Indonesia”. Karya Bejo terbaru bertajuk ”Catur Serumpun” menggambarkan kegundahannya terhadap pasang surut hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Karya itu mengekspresikan sindirannya atas sejumlah klaim kepemilikan yang dilakukan oleh negara tetangga terhadap budaya Indonesia.

Sebelum ini, ia menciptakan ”Catur Ramayana”, ”Catur Baratayudha” yang berisi kisah perang Baratayudha, serta ”Catur Mataram” yang mengisahkan pecahnya Kerajaan Mataram. Bejo tengah merancang catur yang bercerita tentang proses pembuatan Candi Borobudur dengan papan berukuran 1 x 1 meter, serta ritual malam 1 Sura dengan papan berukuran 200 x 60 sentimeter.

Bejo masih bermimpi liping diakui sebagai fine art atau seni rupa murni, sejajar dengan lukisan. Dia tidak ingin menjadi tukang gergaji kayu pinus seumur hidup. Sejauh ini liping masih dinilai sebagai produk kerajinan atau kriya.

Dia butuh waktu bertahun-tahun bereksplorasi sebelum menemukan ide membuat patung-patung seni liping yang dimulai sejak tahun 1998. Lima tahun sebelumnya, selepas tamat SMA, Bejo bekerja sebagai buruh di sejumlah pabrik di Pulau Sumatera, Jakarta, Tangerang, dan Solo.

Karyanya, menurut Bejo, harus dapat dimanfaatkan untuk mengabadikan budaya yang terancam punah. Awalnya, karyanya berbentuk siluet orang yang tengah beraktivitas, misalnya bermain gitar. Karya yang dibuat dari bekas stik es krim ini lalu dijajakan di kampus-kampus di Solo, Salatiga, dan Yogyakarta.

Berbekal pengalaman itu, Bejo memutuskan menjadikan kayu pinus sebagai bahan baku utama kreativitasnya. Kelebihan lain kayu pinus, menurut dia, mudah diperoleh dan harganya murah.

”Detail bentuk dan aksesori akhirnya saya temukan pada tahun 2002,” kata Bejo yang lahir di Dusun Tambangserut, Desa Alas Ombo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo.

Tak suka diatur

Pengalaman hidup di desa ditambah pergulatan hidup yang tidak mudah memberikan ide di benak Bejo yang selalu termotivasi bekerja keras. Karyanya yang unik mengundang ketertarikan orang. Tidak kurang, seorang kepala daerah ingin menjadikan karya Bejo sebagai ikon kota yang dipimpinnya.

Bejo ditawari gaji tinggi, bengkel kerja, dan ruang pamer asal ia mau menggarap karakter-karakter sesuai pesanan sang kepala daerah yang sedang menggenjot pariwisata kotanya.

”Saya tidak menerima tawaran itu karena tidak suka diatur-atur,” ujar Bejo yang juga menolak tawaran serupa dari seorang pengusaha.

Dia memilih berkarya secara mandiri di sebuah rumah sederhana milik kerabatnya di Jalan Kencur, Tunggul Sari, Laweyan, Solo. Kemerdekaan berkreasi menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar bagi Bejo.

Tidak sia-sia kerja keras dan keteguhan sikap dia. Karyanya mulai dihargai orang. Hal ini dibuktikan dari penghargaan Merit Prize untuk kategori kayu dalam Inacraft Award 2009, atas karya dia bertajuk ”Catur Baratayudha”. Karyanya, miniatur pertunjukan wayang kulit, juga memenangi Sayembara Suvenir Nasional tahun 2006.

Bercerita tentang karya caturnya yang berharga Rp 10 juta per set, kata Bejo, dulu hanya bernilai ratusan ribu rupiah. ”Awalnya, catur itu dijual Rp 200.000 saja tidak laku,” kata anak dari pasangan almarhum Dadi Widodo dan Sudarti ini mengenang.

Karya Bejo mulai dikenal masyarakat seiring dengan keaktifannya mengikuti pameran. Apresiasi pengunjung pameran membuat karyanya dihargai dengan nilai ekonomi yang relatif baik. Ini jauh berbeda dengan awal usaha pemasaran yang hanya menjamah pasar kaki lima.

”Dulu, boro-boro dihargai mahal, (karya saya) laku saja tidak. Ternyata saya salah pasar,” kata pria yang memilih memakai Bejo sebagai simbol pengharapannya agar selalu beroleh keberuntungan hidup. ***

MARYONO ATAU BEJO WAGE SUU

• Lahir: Sukoharjo, Jawa Tengah, 29 Juli 1974

• Pendidikan:
- SD Alas Ombo, Kabupaten Sukoharjo
- SMP Mojolaban, Bekonang - STM Warga, Solo

• Istri: Titik Haryati • Anak: - Abiyasa (7) - Kinkin (2)

• Prestasi:
- Merit Prize untuk kategori kayu dalam Inacraft Award 2009 atas karya ” Catur Baratayudha”.
- Juara Sayembara Suvenir Nasional tahun 2006 yang digelar Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. ***

Source : Kompas, Senin, 16 November 2009 | 03:59 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar