Kamis, 12 November 2009

Kisah Rumah Adat Kampung Naga Yang Tahan Gempa

KEARIFAN LOKAL

Rumah Adat Kampung Naga

Tahan Gempa hingga 10,6 SR?

"Rumah ini saya bangun tahun 1993. Ketika itu, yang penting saya punya rumah yang bisa ditinggali keluarga. Masa mau terus tinggal dengan orangtua. Itulah sebabnya, saya tidak begitu memerhatikan konstruksi bangunan rumah saya," tutur Ahmad Sadili (42).

Bangunan rumah milik pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah di Desa Sindangasih, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, itu pun tidak memiliki kolom beton, slup, dan balok. Tidak mengherankan, akhirnya ketika gempa mengguncang Tasikmalaya dua bulan lalu, rumah tersebut rusak berat dan sebagian bangunannya tidak layak huni lagi.

Menurut Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia Jawa Barat Pon S Purajatnika, mayoritas bangunan rumah yang roboh terkena gempa baik Tasikmalaya dan Sumatera Barat adalah bangunan yang didominasi material bata merah. Bangunan tersebut tidak memiliki struktur bangunan seperti slup fondasi, kolom, dan balok pengikat. Oleh karena itu, ketika diguncang gempa, bangunan seperti itu otomatis roboh.

Ada baiknya apabila kita belajar pada kearifan lokal masyarakat adat dalam membangun rumah, misalnya mengadaptasi rumah panggung di Kampung Naga, Tasikmalaya. Pon mengatakan, berdasarkan pendapat para ahli, rumah panggung di Kampung Naga bisa tahan gempa hingga 10,6 skala Richter (SR).

"Buktinya, ketika ada dua rumah di Kampung Naga yang digeser sepanjang 20 meter dan diputar posisinya 180 derajat, bentuk rumahnya tidak rusak. Itu menunjukkan bahwa kaitan balok dan kolom pada bangunan sangat rigid. Padahal, ketika didorong, digeser, dan diputar oleh puluhan orang, itu sama saja dengan getaran gempa yang mungkin sampai 10 skala Richter," tutur Pon.

Merespons getaran

Juru Kunci Kampung Naga Ade Suherlin mengatakan, bangunan rumah ibarat badan kita. Ada bagian kaki, badan, dan kepala. Pada rumah panggung di kampung adat selalu ada batu penyangga sebagai kaki, bangunan rumah dari kayu dan bambu yang ibarat badan, dan atap sebagai kepala. Sementara pada rumah modern, yang ada hanya badan dan kepala karena fondasi sebagai kaki justru tertanam di dalam tanah.

Bentuk tersebut, menurut Ade, tidak seimbang. Karena itulah, ketika digoyang gempa, bangunan yang tidak seimbang itu rentan ambruk. Pon menambahkan, dari sisi arsitektural, bangunan rumah adat Kampung Naga simetris. Hubungan antara kaki dan badan adalah hubungan sendi. Akibatnya, bangunan bisa merespons getaran dengan elastisitas yang tinggi. Belum lagi atapnya yang berupa ijuk atau sirap relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan atap genteng.

Arsitektur bangunan di kampung adat, misalnya Kampung Naga, sangat mungkin diadopsi pengembang dalam membangun kompleks perumahan modern di lingkungan tropis seperti Indonesia. Pola berpikir yang menyatakan bahwa rumah dari kayu dan bambu sudah ketinggalan zaman dan kampungan serta rumah tembok adalah modern harus mulai sedikit diubah. Kita bisa belajar banyak dari cara hidup warga adat yang arif. (Adhitya Ramadhan)***

Source : Kompas, Rabu, 11 November 2009 | 11:46 WIB

Illustasi : Rumah Adat Kampung Naga. (Foto : peetakon.wordpress.com & Jabarprov.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar