Rabu, 25 November 2009

Ancaman Serius Bagi Lingkungan Daerah Pertambangan Mangan

Sejumlah bukit yang semula hijau dan subur di kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego Register Tanah Kehutanan 103, Kelurahan Wangkung, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, habis dieksploitasi oleh PT Sumber Jaya Asia, perusahaan tambang mangan. (Foto : Kompas/Samuel Oktora)***
TAMBANG MANGAN

Berjalan di Perut Bumi
Oleh : Samuel Oktora

Kepuasan dan pilu menyatu dalam batin masyarakat Desa Robek, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, ketika mereka dapat melihat dengan mata kepala sendiri lokasi tambang mangan (Mn).

Puas, karena sejak Blok Soga I dan II, kawasan Torong Besi seluas sekitar 75 hektar mulai dieksploitasi oleh pemegang izin kuasa pertambangan, PT Sumber Jaya Asia, tahun 2007, tidak boleh sembarang orang masuk tanpa izin.

Rasa penasaran warga terobati ketika mereka bersama aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli (Almadi) NTT meninjau lokasi tambang mangan dengan berjalan kaki, Selasa (6/10) silam.

Saat itu rombongan dipimpin Koordinator Almadi NTT Pater Mateus L Batubara OFM. Pater Mateus juga menjabat sebagai Koordinator Lokal Fransiscans Office for Justice, Peace, and Integrity of Creation Flores.

Namun, selain puas, hati mereka juga pilu melihat kondisi tanah mereka yang sebelumnya hijau, yang sekaligus menjadi tumpuan hidup mereka dengan berkebun, kini ternyata penuh dengan lubang raksasa akibat penggalian tambang. ”Saya puas bisa datang melihat sendiri kondisi Torong Besi ini setelah dieksploitasi. Tapi perubahannya amat besar. Tak ada lagi tempat berteduh. Yang tersisa hanya lubang dan bebatuan cadas,” kata Yakobus Daud.

Warga Desa Robek secara umum juga mengeluhkan, sejak ada aktivitas tambang mangan yang hasilnya diekspor ke China itu, curah hujan setempat menjadi amat berkurang yang berdampak buruk terhadap hasil pertanian.

Tua Lumpung Gincu, Bernadus Du, pun mengeluhkan, ada tujuh tuntutan warga kepada perusahaan pemegang kuasa pertambangan eksploitasi, yakni pembangunan rumah adat, mesin pembangkit listrik, pembangunan sekolah, jalan masuk menuju rumah adat, perbaikan halaman kampung, sarana air bersih, dan pembangunan rumah guru hingga kini belum direalisasikan.

”Semua tuntutan warga sampai sekarang cuma menjadi pekerjaan rumah bagi perusahaan. Dari kehancuran lingkungan yang terjadi, kami minta tambang ini dihentikan sebelum kerusakan yang lebih besar menimpa warga,” kata Bernadus.

Kerusakan serius

Siang itu, dengan kondisi sinar matahari yang begitu menyengat kulit, dan keringat bercucuran, warga juga amat antusias menyusuri lokasi tambang sambil mencermati kerusakan lingkungan yang serius. Tak bisa dibayangkan jika hujan mengguyur, bahaya longsor, dan banjir bandang dapat melanda sewaktu-waktu.

”Perhatikan saja ketinggian tebing di lokasi tambang ini. Ada lima sampai enam lapisan tambang. Kita sama saja berjalan di dalam perut bumi. Lalu kalau isinya sudah dikeruk, dengan apa untuk menutup kembali, dan perlu waktu berapa lama?” kata Direktur Eksekutif Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi yang turut meninjau lokasi.

Menurut Sri, aktivitas pertambangan hanya akan menghancurkan keutuhan alam, hutan, dan air.

Warga di dua kampung, yakni Ketebe dan Golosambi, juga mengeluh, karena mereka kini tak memiliki mata air, sebab mata air terdekat telah menjadi kering akibat penggalian tambang.

Sementara itu, di sejumlah titik lokasi tambang yang bertepatan dengan dermaga setempat, terlihat pula sekitar 45 buruh warga lokal yang sedang sibuk menyaring batu mangan dari tanah dan batu-batu cadas.

Mereka bekerja diawasi oleh supervisor yang berasal dari China, yang berbahasa Inggris saja kurang fasih, apalagi berbicara dalam bahasa Indonesia.

Sejumlah buruh, Christina Florandia dan Rosalia Iba, mengungkapkan, dalam sehari bekerja pada pukul 07.00-17.00 mereka mendapatkan upah Rp 27.500, sedangkan yang laki-laki memperoleh upah Rp 30.000 per hari. Mereka bekerja enam hari seminggu.

Namun, Bartolomeus Dono mengeluhkan, pendapatan buruh akan dipotong jika mereka tidak masuk kerja karena izin atau sakit. Mereka juga tidak mendapatkan penggantian biaya kesehatan.

”Kami tidak mendapat uang transpor. Kalau naik ojek, ya biaya sendiri,” kata Bartolomeus. Padahal, jarak rumah warga dengan lokasi tambang umumnya cukup jauh dengan biaya ojek rata-rata Rp 15.000.

”Dengan tidak adanya jaminan kesehatan, dalam waktu tiga sampai lima tahun mereka yang bekerja sebagai buruh ini bisa terserang penyakit serius, seperti gangguan paru-paru karena menghirup secara langsung debu mangan. Apalagi kalau ada yang hamil, bagaimana dengan kandungannya, dan tentunya akan lahir SDM yang kurang bagus,” kata Direktur Satu Visi Sumba Debi Rambu Kasuwatu.

Lokasi tambang di kawasan Torong Besi itu sekitar 70 kilometer dari kota Ruteng. Torong Besi terletak di kawasan pantai utara Flores.

Yang ironis, lokasi tambang Soga 1 dan 2 merupakan kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego Register Tanah Kehutanan 103. Belum lagi di Desa Robek terdapat pula pantai berpasir putih Ketebe, yang merupakan obyek wisata bahari Manggarai.

Tak ada mata air kering

Pelaksana Tugas Sekretaris Kabupaten Manggarai Frans Hany membantah bahwa ada mata air yang kering di Robek.

Menurut Frans, secara rutin Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Manggarai selalu memonitor dampak tambang mangan tersebut. ”Sejauh ini tidak ada laporan dari Bapedalda soal kerusakan lingkungan,” kata Frans.

Torozatulo Mendrofa dari Kantor Pengacara T Mendrofa selaku penasihat hukum PT Sumber Jaya Asia
mengatakan, perusahaan tersebut mengutamakan faktor kesehatan dan lingkungan. Lokasi bekas tambang telah direklamasi dengan penanaman 10.000 pohon guna mencegah kerusakan lingkungan (Kompas, 10/10).

Mendrofa juga mengemukakan, lokasi tambang di Soga 1 dan 2 bukan kawasan hutan lindung karena belum ada peraturan daerah yang mengaturnya sebagai kawasan hutan lindung.***
Source : Kompas, Rabu, 25 November 2009 | 04:30 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar