Jumat, 13 November 2009

Ekspedisi -Jejak Sejarah Sriwijaya

Menebar benih padi di lahan kering di lokasi transmigrasi Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan , beberapa waktu lalu. (Foto : Kompas/Kenedi Nurhan)***

RAWA PASANG SURUT

Nasib Daerah Tak Bertuan

Dua kapal cepat (speedboat) yang membawa rombongan dari Pulau Bangka itu akhirnya merapat di dermaga Pos Polisi Air di Desa Air Sugihan. Selat Bangka sudah jauh di belakang. Tanjung Selokan, tempat Sungai Air Sugihan bermuara ke Selat Bangka, juga sudah dilewati.

Deretan rumah panggung dengan jerambah (baca: jalan penghubung) kayu yang disangga ribuan batang nibung (Oncosperma filamentosa) berdiri kokoh di atas rawa pasang surut, memanjang hampir satu kilometer. Tak sejengkal pun terlihat tanah-daratan, kecuali deretan bakau dan tumbuhan air macam bakung, nipah, dan pandan laut di kawasan hulu dan hilirnya.

”Kita singgah di sini hanya sebentar,” kata Budi Wiyana.

Siang di minggu kedua Oktober 2009 itu, peneliti pada Balai Arkeologi Palembang ini bertindak selaku pemimpin rombongan yang tengah menapaktilasi perjalanan suci (siddayatra) Dapunta Hyang pada 682 Masehi—lebih dari 1.300 tahun lampau—ketika mencari tempat untuk mendirikan wanua (perkampungan) baru sebagai cikal bakal pusat kerajaan besar, yang kelak dikenal dengan nama Sriwijaya.

Empat tahun kemudian, melalui jalur ini pula diperkirakan Dapunta Hyang beserta bala tentara Sriwijaya menginvasi Pulau Bangka. Jejak sejarah yang ia tinggalkan lewat inskripsi batu persumpahan di Kota Kapur, bertarikh 686 Masehi, merupakan bukti awal bagaimana ia memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Tanah Semenanjung dan Pulau Jawa.

Sutrisman Dinah (48), pencinta alam dan pendaki gunung dari Palembang yang akrab dipanggil sebagai sang senior oleh rekan dan sejawatnya, langsung meloncat dari buritan kapal begitu tali ditambatkan. Dengan kamera di tangan, ia terlihat sibuk mengambil gambar, mengabadikan denyut kehidupan warga yang bermukim di cekungan muara sungai itu dari generasi ke generasi.

Tak banyak informasi yang bisa digali. Seusai menyambangi polisi perairan yang bertugas di sana, rombongan kembali bertolak ke hulu. Dua kapal cepat itu jalan beriring, menyusuri lekuk- lekuk sungai berhutan bakau di kedua sisinya, hingga memasuki kawasan permukiman transmigran Air Sugihan yang digunduli sejak akhir 1970-an.

Bekas kawasan hutan hujan tropis dengan segala ekosistem rawa pasang surutnya itu kini sudah berubah jadi areal pertanian, dengan kanal-kanal berupa jalur dan parit buatan di sekelilingnya. Jalur adalah kanal selebar sekitar 25 meter, bermuara ke sungai alam, dimaksudkan sebagai sarana pendukung transportasi dari dan ke satu tempat melalui laut. Adapun parit yang bermuara ke jalur lebarnya kurang dari 10 meter, dirancang untuk mengairi lahan pertanian di bekas lahan gambut.

Sisa permukiman kuno

Arkeolog Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menduga, Desa Air Sugihan merupakan satu di antara sedikit sisa-sisa perkampungan kuno yang terus berlanjut. Para pendahulu mereka telah bermukim di kawasan ini sejak abad-abad awal Masehi, jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri.

Bukti-bukti tinggalan arkeologis yang merujuk pada pola hidup dan hunian di masa lampau itu ditemukan tersebar di puluhan titik ekskavasi. Selain di Air Sugihan, tinggalan sejarah berupa artefak—sebutlah seperti pecahan keramik china dari masa yang lebih awal, tembikar, manik-manik—dan sisa-sisa peradaban lainnya, ditemukan juga di Karangagung Tengah, Banyung Lincir, hingga di kawasan Delta Berbak di Jambi.

”Dari hasil penelitian arkeologi berupa temuan pecahan keramik, kendi, manik-manik, dan sisa tiang-tiang rumah yang tersebar di kawasan pasang surut ini, pertanggalan yang sudah bisa dilacak paling tidak berasal dari sekitar abad IV Masehi dan terus berlanjut hingga abad XII Masehi,” kata Bambang Budi Utomo.

Meski data temuan arkeologis di kawasan ini baru bisa melacak berbagai tinggalan sejarah dari abad IV hingga XII, tidak berarti pada masa setelah itu terjadi kekosongan peradaban. Kalangan arkeolog yakin, pasca-Sriwijaya pun kawasan pantai timur Sumatera Selatan—termasuk Air Sugihan—tetap menjadi daerah hunian, dengan ciri-ciri komunitas yang relatif sama: masyarakat yang pola hidup dan huniannya berorientasi pada ekosistem rawa pasang surut.

Dalam rentang waktu yang begitu panjang, hampir dua milenium, tentu banyak hal yang ikut berubah. Akan tetapi, kesinambungan sebuah peradaban selalu bisa dilacak lewat bukti-bukti arkeologis yang mereka tinggalkan, untuk kemudian direkonstruksi dan dikomparasikan dengan kehidupan masa kini.

Selain model rumah panggung dengan tiang penyangga menggunakan kayu nibung yang hingga kini masih banyak dijumpai, model perahu yang masih ada pun memiliki banyak kemiripan dengan sisa-sisa perahu kuno yang ditemukan di kawasan ini. Perahu-perahu kuno yang dibuat dengan teknik ”papan ikat dan kupingan pengikat” menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata) yang dikaitkan pada tonjolan segi empat yang disebut tambuku— Pierre-Y’ves Maguin (2006) menyebutnya sebagai teknik tradisi Asia Tenggara, dalam wujud dan teknik pembuatan yang sedikit berbeda masih dijumpai ciri-ciri dasarnya pada alat transportasi berupa perahu kajang.

Meski sejak tiga dekade terakhir perahu jenis ini mulai ditinggalkan, diganti perahu bermotor yang ukurannya lebih besar sehingga lebih dikenal dengan sebutan kapal motor, paling tidak jejak peradaban masa lampau itu masih bisa dilacak rantai sejarahnya. Meski fungsi kemudi dan dayung kini sudah digantikan baling-baling yang digerakkan mesin, fungsi utamanya relatif tak berubah: sarana transportasi pelayaran dan perdagangan di tengah komunitas masyarakat yang hidup dan menetap pada ekosistem rawa pasang surut.

Daerah transmigran

Dalam perspektif politik hegemoni, sejak dulu kawasan yang bercirikan ekosistem rawa pasang surut ini hanya dipandang sebatas daerah lintasan dari dan ke pusat kekuasaan. Jika Palembang ditasbihkan sebagai pusat peradaban masa lampau, dan Selat Bangka adalah jalur utama pelayaran dan perdagangan antarbangsa, daerah rawa pasang surut di pantai timur Sumatera Selatan ini tidak ubahnya sekadar tempat kapal-kapal berlindung dan berteduh dari amukan badai dan ombak.

Dapunta Hyang pun tak tertarik. Saat mencari tempat membangun wanua baru, ia lebih memilih Palembang yang berjarak lebih dari 100 mil laut dari alur pelayaran utama di Selat Bangka. Bersama 20.000 tentaranya—sebagaimana terekam dalam prasasti Kedukan Bukit bertarikh 682 Masehi—Dapunta Hyang hanya berhenti (baca: istirahat) di Mukha Upang, satu tempat yang oleh kalangan arkeolog diyakini terletak di Desa Upang saat ini.

Bisa dipahami bila kawasan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera Selatan ini tidak menjadi pilihan untuk membangun pusat peradaban. Selain kondisi alamnya berupa rawa yang hampir sepanjang tahun tergenang air, lahan yang tidak subur lantaran tingkat keasaman tanahnya sangat tinggi, serta ancaman nyamuk, masalah besar justru karena kawasan ini tidak memiliki sumber air tawar.

Alhasil, selama lebih berabad- abad delta berupa rawa pasang surut yang terbentuk di sekitar Sungai Air Sugihan, juga Sungai Upang, Sungai Saleh, dan—tentu saja—Sungai Musi sebagai tempat semua sungai itu menyatu, hanya diposisikan sebagai daerah pinggiran. Sungguh ironis!

Meski secara geografis wilayah ini berada tepat di depan jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan ”global”, tetap saja secara politis ia diposisikan sebagai halaman belakang. Hingga kini! Itu pun untuk tidak menyebutnya sebagai daerah tak bertuan.

Baru pada tahun 1970-an, ketika pemerintah mulai kesulitan mencari lokasi penempatan calon transmigran dari Jawa, Air Sugihan dan sekitarnya—termasuk Karangagung dan Bayung Lincir—dilirik. Ada keinginan untuk ”menyulap” lahan-lahan gambut yang berada di kawasan rawa pasang surut di kawasan ini menjadi areal pertanian.

Keinginan berswasembada pangan ikut jadi pertimbangan. Lalu, transmigran berlatar tradisi masyarakat agraris pun dihadirkan dalam kelompok-kelompok besar, melengkapi keberadaan penduduk lokal yang tinggal terpencar- pencar di pinggiran sungai. Sebuah peradaban baru ingin ditabalkan.

Benarkah gagasan awal dari rencana ambisius tersebut semata untuk membangun kawasan ini jadi lebih baik? Tidakkah di belakang itu semua berdiri cukong-cukong, para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), yang semata ingin mendapatkan keuntungan dari pembabatan kayu di hutan perawan yang ada di atas areal lahan gambut tersebut?

Tak ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, sejak itu puluhan juta kubik kayu gelondongan mengalir dari sana ke Selat Bangka, kemudian dikapalkan menuju ke berbagai belahan dunia, seperti Jepang dan China. Padahal, sekadar catatan, hingga awal 1970-an kawasan lahan gambut di daerah ini sebagian besar masih berupa hutan belantara.

Saat penulis berkunjung ke daerah ini pada awal 1980-an, bersamaan berlangsungnya pembuatan kanal-kanal untuk permukiman transmigran, ribuan kayu gelondongan bergeletakan di kedua sisi kanal. Kayu-kayu berdiameter di atas 40 sentimeter siap digelindingkan ke sungai terdekat, kemudian di-lanting, lalu ditarik menggunakan kapal motor menuju muara sungai.

Hampir 30 tahun kemudian bekas belantara hutan hujan tropis itu sudah berubah total. Gundul! Jangankan kayu keras macam bulian (Eusyderoxylon zwageri), tembesu (Fagraea fragrans), nibung, dan unglen (nama lokal untuk kayu besi), pokok pohon bakau juga sudah jarang dijumpai, kecuali ke arah muara menuju Selat Bangka yang memang belum digarap. Rumpun nipah (Nipa fritucans) pun kini hanya ada di daerah iliran.

Benarkah peradaban baru sudah ditabalkan? Sebagai daerah hunian, denyut kehidupan masyarakatnya jelas terasa. Menara penerima sinyal jaringan telepon seluler ada di mana-mana. Jaringan jalan—meski masih berupa tanah merah—antarunit permukiman mulai lancar sehingga mobilitas penduduk tak hanya mengandalkan kendaraan air.

Secara budaya, proses silang budaya antara masyarakat pendatang dan warga tempatan juga terjadi. Akulturasi budaya itu terlihat mulai dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi hingga cara bertanam padi di lahan kering bekas rawa yang sudah direklamasi. Jika semula para transmigran terpaku pada cara bertanam seperti di daerah asal mereka di Jawa, kini sebagian besar malah meniru masyarakat lokal yang hanya ”menghamburkan” benih ke lahan yang sudah dibersihkan.

”Orang-orang di sini menyebutnya sebagai padi sonor. Lebih gampang dan biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih sedikit. Tapi, hasil panennya memang tidak sebagus kalau diperlakukan seperti menanam padi di sawah,” ujar Suhardi, transmigran asal Sragen, Jawa Tengah.

Adakah kemajuan yang dicapai? Lebih separuh dari masa hunian masyarakat baru tersebut, terutama pada 15 tahun pertama sejak mereka datang pada 1984, berita yang muncul selalu tentang kegagalan. Bahkan, pada awal 1990-an tersiar kabar menghebohkan: terjadi musibah kelaparan secara luas, meski ketika itu pemerintah membungkusnya dengan istilah rawan pangan.

Sekarang pun, dibandingkan rekan mereka sesama transmigran di daerah lain—sebutlah seperti di Batumarta, Ogan Komering Ulu, juga di Sumatera Selatan—kemajuan yang dicapai masih jauh dari harapan. Tanaman kelapa yang semula jadi tumpuan kini tak lagi jadi andalan.

”Sekarang harga sebutir kelapa di sini hanya Rp 400-Rp 500,” kata Wahidin (62), penduduk Desa Kertamukti.

Di tengah keadaan yang serba tidak menentu, sementara untuk sekadar bertahan hidup mereka mengandalkan dari hasil panen padi sonor, sejak lima tahun terakhir sebagian warga mulai beralih ke tanaman kelapa sawit. Lahan usaha II yang semula hanya untuk padi mulai diganti. Sebagian tumbuh baik, tapi tidak sedikit yang gagal lantaran bibit kelapa sawit yang ditanam bukan dari jenis unggul.

Beberapa transmigran bahkan sudah mulai menebangi pohon- pohon kelapa mereka hanya untuk memberikan kesempatan agar sawit setinggi tubuh orang dewasa yang ditanam di sela-sela deretan pohon kelapa bisa tumbuh besar tanpa halangan. Kendati belum jelas prospeknya, kini muncul kecenderungan di kalangan transmigran untuk lebih memberikan tempat pada tanaman yang banyak ”menyedot” air tanah tersebut.

Akankah kelapa sawit akan mengubah bentang alam, sekaligus mempercepat kemajuan daerah bekas kawasan rawa pasang surut itu? Kini tanah tak bertuan yang tak dilirik oleh Dapunta Hyang sang penguasa Sriwijaya, yang selama berabad-abad sekadar daerah lintasan, tampaknya harus membuat sejarah bagi dirinya sendiri.… (WAD/KEN)***

Source : Kompas, Jumat, 13 November 2009 | 03:37 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar