Selasa, 10 November 2009

Pisau Rahmat, Juga Saksi Sejarah Angklung


AHMAD ROSADI ALIAS RAHMAT. (Foto :Kompas/Gregorius Magnus Finesso)***

Rahmat, "Dokter" Pelaras Nada Angklung

Oleh : Khaerul Anwar dan

Gregorius Magnus Finesso

”Kalau mau ambil foto saya, bolehlah, tetapi jangan ambil pisau saya,” kata Ahmad Rosadi tertawa, sambil menyerut bambu di bengkel kerjanya, sentra industri Angklung Saung Udjo, Padasuka, Kelurahan Pasir Layung, Kecamatan Cibeunying, Bandung, Jawa Barat. Di balik kelakar itu, Rahmat—panggilan Ahmad Rosadi—menegaskan bahwa pisau serut adalah ”nyawa” bagi Rahmat dan para perajin angklung, untuk memotong dan memperhalus bambu bakal instrumen tersebut. Jika pisau diambil, hilang pula sumber nafkah mereka.

”Kalau sudah cocok (dengan pisau ini), dibeli dengan harga mahal pun saya tolak,” ujar Rahmat, yang memiliki pisau serut ”bermata”, menyerupai sendok.

Saat menghadiri Kongres Kebudayaan Nasional 2008 di Jakarta, seseorang asal Papua menawar pisau yang dipakai Rahmat seharga Rp 500.000. Tawaran itu serta-merta ditolaknya.

Agaknya, pisau itu juga saksi sejarah, yang menemani Rahmat sejak masih belajar membuat angklung hingga kini. Ia menjadi ”dokter” pelaras nada angklung. Karena keterampilannya sebagai penyetem angklung, pada dasawarsa 1990-an Rahmat kerap dipanggil grup kesenian angklung di Semarang, Yogyakarta, dan Salatiga, bahkan juga di Surabaya dan Pasuruan.

”Biasanya nada angklung baru normal setelah empat tahun. Awalnya, angklung mesti sering disetem sebab bambunya perlu beradaptasi dengan ik lim,” ungkap Rahmat. Dalam sehari, dia bisa membuat empat angklung siap pakai.

Proses panjang

Lelaki yang memiliki darah seni dari ayahnya—almarhum H Ahmad Djajadi, anggota grup Samrah di Jakarta—itu belajar dari seorang tetangganya yang mahir membuat angklung.

Mang Udjo Ngalagena (almarhum), seniman legendaris kesenian angklung Sunda, dan Daeng Sutigna (almarhum) yang memelopori angklung diatonis, adalah guru yang sangat dihormati Rahmat.

Ilmu yang didapat dari para guru itu dia terapkan dalam karyanya. Tak pelak, banyak bambu yang terbuang karena salah potong atau tidak pas dengan nada yang diinginkan. Bahkan dalam proses belajar itu, ”Tangan saya sering luka dan terpaksa dijahit karena kena pisau sewaktu meraut bambu.”

Lambat laun, pengetahuan Rahmat bertambah, seperti ilmu mengenai semakin dekat jarak antarbuku sebuah bambu, semakin tinggi suara yang dihasilkan. Sebaliknya, kian jauh jarak antarbuku, kian rendah pula suara yang dihasilkan.

Pada 1976 Rahmat, yang semula bekerja serabutan, mulai konsentrasi di sanggar kesenian Saung Angklung Udjo yang kini dipimpin Taufik Hidayat Udjo.

Menurut Direktur Operasional PT Saung Angklung Udjo Satria Yanuar Angganasastra, produksi angklung sanggar itu mencapai 20.000 buah sebulan, dengan omzet sekitar Rp 2 miliar setahun. Alat musik tersebut juga diekspor ke Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, kecuali untuk memenuhi permintaan dalam negeri,

Bisa dibayangkan kesibukan di sanggar tersebut, mulai dari para petugas sanggar yang melayani hilir mudik wisatawan membeli cenderamata sampai kesibukan para perajin pembuat angklung.

Ada suara parang dan gergaji yang beradu dengan bambu, denting suara angklung, dipadu suara rampak gendang, suling dan rebab. Tak ketinggalan lenggak-lenggok tubuh remaja putra-putri yang tengah berlatih menari dan alunan kidung tatar Sunda, mengisi hari-hari di sanggar obyek wisata di Bandung tersebut.

Sentra tersebut menghidupi 300 perajin di sekitarnya, termasuk Rahmat. Meski perajin pada bagian kerja yang dia kuasai itu terbatas jumlahnya. Justru di situlah Rahmat punya peran penting, setidaknya menjaga kepercayaan konsumen agar produk angklung memenuhi standar kualitas ekspor.

Dipengaruhi rasa

Tugasnya memang penting, yakni sebagai penyelaras nada angklung. Rahmat mampu melahirkan produk yang patut dibanggakan. Kemampuannya terlihat di bengkel kerja itu. Di sebelah kursinya ada balira (atau kulintang) dan tuner elektrik sebagai pedoman mengukur nada. Meski sebenarnya, dia lebih mengandalkan pendengaran dan perasaan (feeling)-nya. Tabung angklung akan dirautnya sampai selaras dengan indera pendengar dan ”kata hatinya”.

Kepekaan perasaan itu didapat Rahmat setelah selama 33 tahun lebih menekuni angklung. ”Yang paling enak membuat angklung itu seusai shalat subuh, pukul lima sampai pukul tujuh. Dalam suasana batin tenang, pikiran jernih, dan lingkungan sekitar relatif sepi, nyetem sebentar saja langsung dapet,” ucapnya seraya menepuk dada.

Karena saban hari menggeluti bunyi dan nada, Rahmat bisa menghafal di luar kepala nada suara tetangganya yang bicara, tanpa melihat wajah si pembicara. Hebatnya lagi, Rahmat tidak pernah belajar musik secara formal. Pendidikannya putus pada kelas I SMP.

Pengetahuan musik dia peroleh dari membaca buku kesenian, dan belajar dari orang lain. Pengetahuan membuat angklung yang susah didapat itu tidak membuat dia pelit menularkannya kepada teman sesama perajin.

”Modal saya adalah semangat dan keringat. Siapa pun yang mau belajar, saya ajarkan. Kalaupun dari semangat dan keringat saya itu ada yang jadi kaya dan terkenal, itu soal lain,” ucapnya. Dari menularkan ilmunya itu, Rahmat justru memiliki banyak sahabat.

Dia enggan membeberkan manfaat ekonomi dari kerja kerasnya selama ini. Ia memberi ilustrasi, nafkah hariannya terpenuhi, juga bisa punya rumah. Tiga anaknya pun bisa bersekolah sampai perguruan tinggi, dan seorang di antaranya masih kelas II SMP.

Boleh dibilang keberadaan Rahmat di sanggar itu menyempurnakan teknis pembuatan angklung yang sudah dianggap sebagai pakem. Misalnya, menemukan titik simpul lubang tabung angklung, yang semula letaknya terlalu tinggi dan rendah sehingga suara yang dihasilkan masih fals.

Letak lubang titik simpul sekitar seperempat bagian dari panjang tabung diukur dari atas, yang juga berfungsi untuk menggantung kedua tabung angklung itu, digeser beberapa sentimeter sehingga melahirkan nada yang pas. Itu dia temukan setelah dua tahun menggeluti angklung.

Hampir separuh usia Rahmat habiskan untuk melestarikan alat musik warisan leluhur Sunda. Tak heran kalau rasa nasionalismenya terusik ketika produk budaya Tanah Air tersebut diklaim oleh bangsa lain.

Makanya, Rahmat ingin, ”Orang-orang mau bermain angklung, memakai baju batik, sambil menyanyikan lagu ’Rasa Sayang-sayange’, agar seni budaya kita tidak diakui oleh negara lain.”

AHMAD ROSADI ALIAS RAHMAT

• Lahir: Jakarta, 28 Agustus 1952 • Alamat: Babakan Baru, Padasuka, Kecamatan Cibeunying Kidul, Bandung • Istri: Elis Mintarsih (49) • Anak: - Rizal Maulana (29) - Fauzi Rimbawan (26) - M Malik Andani (20) - Taufiq Hidayat (14) • Pendidikan: - Sekolah Dasar, lulus tahun 1964 - SMP Kelas I tahun 1965.***

Source : Kompas, Selasa, 10 November 2009 | 03:16 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar