Kamis, 12 November 2009

Pentingnya Rumah Tahan Gempa Dalam Kajian Sejarah

Rumah Tahan Gempa Syarat IMB

Memungkinkan Diterapkan pada Rumah Sederhana Sehat

TASIKMALAYA - Peristiwa gempa yang terjadi beberapa waktu lalu seharusnya menjadi kesempatan bagi pemerintah saat ini untuk memperketat izin mendirikan bangunan (IMB). Dari sisi arsitektural, memperkokoh bangunan agar lebih tahan gempa sangat mungkin dilakukan pada rumah sederhana sehat sekalipun.

"Setelah gempa, terlihat bangunan di perkotaan relatif lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk di pelosok daerah. Rumah penduduk tersebut hanyalah bangunan yang didominasi bata merah, diplester, kemudian dicat tanpa memiliki struktur bangunan," ungkap Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia Jawa Barat Pon S Purajatnika, Selasa (10/11) di Tasikmalaya.

Kebanyakan bangunan rumah yang roboh tidak direncanakan dengan baik pembuatannya. Di sisi lain pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk mengawasi semua izin pembangunan agar sesuai dengan kaidah arsitektur yang tahan gempa. Ketahanan bangunan menahan gempa seharusnya bisa ditambahkan menjadi syarat dalam penerbitan IMB sehingga mengurangi risiko bangunan roboh karena gempa. Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah ialah menggandeng kaum profesional untuk mengawasi penerbitan IMB.

Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten Tasikmalaya Yusep Yustia Wandara mengutarakan, sosialisasi bangunan tahan gempa sudah dilakukan terhadap para pekerja bangunan di Tasikmalaya. Kegiatan yang dibiayai dengan APBD ini nanti juga diselenggarakan terhadap camat dan kepala desa.

Tujuan kegiatan tersebut adalah agar masyarakat memahami betul konsep bangunan tahan gempa. Dengan demikian, ketika membangun rumah, mereka bisa memperkokoh struktur bangunan rumah agar tidak mudah roboh bila terkena gempa.

Pon menambahkan, pengembang perumahan pada umumnya, bahkan rumah sederhana sehat (RSH) sekalipun, sudah paham bahwa bangunan yang dibangun harus tahan gempa minimal 8,6 skala Richter. "Tidak mahal sebenarnya bagi pengembang untuk menambah struktur tulangan ekstra agar bangunannya tahan gempa, sekalipun itu dilakukan pada RSH," ujarnya.

Memungkinkan

Ayat Syafaat, Direktur Utama PT Penta Pilar Kencana selaku salah satu pengembang RSH di Kota Tasikmalaya, mengatakan, dalam setiap pembangunan kompleks perumahan, keberadaan slup fondasi, kolom, dan balok pengikat merupakan hal standar. Hanya, kualitas struktur tulangan tersebut sangat bergantung pada mutu besi dan campuran beton yang dibuat.

Dari sisi arsitektural, memperkokoh bangunan agar lebih tahan gempa sangat mungkin dilakukan pada berbagai rumah, termasuk RSH. Hanya, dari segi biaya, batasan harga RSH yang ditetapkan pemerintah Rp 55 juta tidak memungkinkan pengembang menambah struktur penguat pada bangunan lebih dari standar pada umumnya, berbeda dengan rumah non-RSH yang tidak disubsidi pemerintah.

"Yang jelas pada setiap rumah yang saya buat selalu ada slup fondasi, kolom, dan balok pengait. Itu sudah menjadi sebuah tuntutan dasar membangun rumah. Dengan hanya ada slup, kolom, dan balok pun, jika dibandingkan dengan bangunan yang tidak memiliki tiga hal itu, bangunan sudah relatif tahan gempa," kata Ayat. (adh)***

Source : Kompas, Rabu, 11 November 2009 | 11:47 WIB

Illustrasi : Rumah Adat Kampung Naga. (Foto : hancurmina.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar