Selasa, 15 September 2009

Babak Baru Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2009

BUSTANUL ARIFIN

ANALISIS EKONOMI

Babak Baru Kebijakan Subsidi Pupuk

Oleh : Bustanul Arifin

Pemerintah merencanakan pengurangan subsidi pupuk dari Rp 18,4 triliun (0,3 persen dari produk domestik bruto/PDB) tahun 2009 menjadi Rp 11,3 triliun (0,2 persen PDB) tahun 2010. Penurunan subsidi ini lebih banyak karena ada rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk sekitar 80 persen. Peningkatan yang sangat signifikan bagi petani.

Pupuk urea, misalnya, akan naik dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.000 per kilogram, Superphos dari Rp 1.550 menjadi Rp 2.100 per kg, NPK Ponska dari Rp 1.750 menjadi Rp 4.500 per kg, NPK Pelangi dari Rp 1.830 menjadi Rp 4.100 per kg, NPK Kujang Rp 1.586 menjadi 4.000 per kg, dan pupuk organik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per kg.

Pada waktu mengantarkan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, awal Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang tidak eksplisit menyebutkan rencana kenaikan harga pupuk ini. Presiden menyampaikan, ”Pemerintah tetap merencanakan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk, benih, dan pangan. Melalui subsidi ini kita dapat menyediakan pupuk dan benih berkualitas dengan harga terjangkau, agar petani kita lebih produktif dan lebih meningkat kesejahteraannya.”

Namun, dalam dokumen RAPBN 2010 secara jelas disebutkan tujuan peningkatan harga eceran tertinggi pupuk itu adalah ”untuk memperkecil penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan, dan tetap memerhatikan kepentingan petani” (halaman IV-140 Nota Keuangan dan RAPBN 2010).

Pertanyaan yang layak memperoleh klarifikasi adalah apakah rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk itu merupakan babak baru dari perbaikan subsidi pupuk dan menciptakan sistem subsidi input pertanian yang lebih efektif dan efisien? Atau, apakah rencana itu merupakan pengacuhan kebijakan terhadap permasalahan petani yang kian sulit menjangkau harga input dan biaya usahatani yang semakin besar?

Subsidi pupuk adalah salah satu dari elemen subsidi pertanian di Indonesia yang kini mencapai Rp 21,4 triliun, yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 18,4 triliun, subsidi benih Rp 1,3 triliun, dan kredit program Rp 1,7 triliun. Lonjakan angka subsidi pupuk dari Rp 6,3 triliun tahun 2007 menjadi Rp 15,2 triliun tahun 2008 menimbulkan pertanyaan lebih strategis tentang efisiensi dan efektivitas subsidi tersebut.

Subsidi pupuk Rp 18,4 triliun kepada industri pupuk sangat fantastis karena masih sering terjadi kelangkaan pupuk saat musim tanam. Apakah rencana kenaikan harga eceran pupuk akan menyelesaikan penyimpangan subsidi dan kelangkaan pupuk? Rasanya tidak selinier itu.

Indonesia pernah secara konsisten menggunakan formula yang dikenal sebagai ”Rumus Tani” atau rasio harga pupuk terhadap harga padi sebagai basis pengambilan keputusan stabilisasi harga input, dan/atau besaran subsidi terhadap pupuk. Subsidi pupuk saat itu dilaksanakan secara terpadu dengan penyaluran sarana produksi lain, umumnya dalam bentuk paket dan merupakan bagian program pemerintah. Berbeda dengan kondisi awal tahun 1970-an, petani Indonesia kini telah mengenal pupuk kimia (anorganik) dan bahkan telah masuk pada fase ketergantungan pada pupuk yang tinggi.

Berdasarkan Laporan Pendataan Usahatani Tahun 2009 oleh Badan Pusat Statistik, lebih dari 91 persen petani padi menggunakan pupuk, terdiri dari 68 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Penggunaan pupuk pada petani jagung adalah 36,8 persen menggunakan pupuk kimia dan 46,1 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Lebih dari 73 persen petani kedelai juga bergantung pada pupuk, dan lebih dari 96 persen petani tebu juga sangat bergantung pada pupuk.

Tingkat ketergantungan petani yang demikian tinggi pada pupuk kimia (anorganik) berada pada point of no-return. Untuk mengurangi ketergantungan yang demikian tinggi, tentu tidak bijak jika tiba-tiba harga pupuk dibuat mahal karena kelangkaan pupuk seakan memiliki ”ideologi” tersendiri.

Saat ini setidaknya ada enam simpul utama kelangkaan pupuk, yaitu simpul produksi, simpul distribusi, simpul kelembagaan, simpul harga, simpul subsidi, dan simpul trust (lihat Arifin, 2009). Tidak perlu dibahas lagi bahwa kelangkaan pupuk pasti memengaruhi kinerja produksi pangan dan kualitas ketahanan pangan di Indonesia.

Sistem produksi pupuk sangat bergantung pada pasokan gas yang kian fluktuatif karena tingkat volatilitas harga gas di pasar global yang juga tinggi. Penataan sistem distribusi (tertutup, semitertutup, terbuka, dan kini tertutup lagi) tidak pernah mendekati sempurna karena disparitas harga. Sistem kelembagaan, rencana definitif kebutuhan kelompok, agak sulit mencapai prasyarat tata kelola, sebagaimana tuntutan sistem administrasi modern kebijakan negara.

Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan harga aktual di tingkat lapangan terlalu lebar sehingga menjadi lahan empuk spekulan menyelewengkan pupuk bersubsidi. Simpul trust (saling percaya) terutama pada pemangku kepentingan pupuk itu sangat berpengaruh terhadap proses audit akuntansi dan audit kinerja produsen pupuk.

Melalui pendataan usahatani tahun 2009, pemerintah berencana memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi. Subsidi input pertanian (pupuk dan benih) direncanakan diberikan langsung kepada petani walaupun sampai saat ini mekanisme yang paling sesuai juga belum ditemukan. Sesuatu yang perlu diperhatikan adalah bahwa hakikat subsidi kepada petani/produsen sangat berbeda dengan subsidi kepada konsumen, seperti program bantuan langsung tunai atau beras untuk rakyat miskin.

Derajat fungibilitas atau pemanfaatan subsidi untuk keperluan lain di luar proses produksi pada petani masih sangat tinggi. Tidak ada jaminan bahwa subsidi uang tunai langsung kepada petani akan dibelanjakan untuk pupuk dan untuk meningkatkan produksi.

Sebaiknya, pada tahun 2010 pemerintah memanfaatkannya sebagai ajang uji coba sekian macam mekanisme penyaluran subsidi pupuk kepada petani. Setelah tingkat efisiensi dan efektivitas dapat diketahui, penyaluran subsidi secara nasional dapat dimulai tahun 2011.

Subsidi pupuk memang wajib dinikmati oleh yang berhak, yaitu petani. Namun, ketidakhati-hatian, keacuhan, dan kesalahan perumusan kebijakan mekanisme subsidi justru akan mempertaruhkan nasib berpuluh juta petani dan masa depan pertanian Indonesia.

Bustanul Arifin,

Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB

Source : Kompas, Senin, 14 September 2009 | 04:27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar