Senin, 07 September 2009

Seni Reog Ponorogo Dalam Belantara Globalisasi

PROFIL

Sarono Konsisten Tekuni Seni Reog

Sarono (54) barangkali merupakan satu di antara sekian ribu transmigran di Sumatera Selatan yang tidak pernah melupakan akar dan sejarah kehidupan masa lalunya. Meski sudah 30 tahun merantau di Pulau Sumatera atau tepatnya menjalani kehidupan sebagai transmigran di Desa Sungai Rambutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, tetapi dia tetap konsisten dan tekun mengembangkan seni Reog Ponorogo.

Pria kelahiran Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, yang pada 10 September 2009 mendatang tepat berusia 55 tahun ini memang ”cinta mati” seni reog. Bagi pria yang mengaku masih menjalani kehidupan sebagai warok tersebut, seni reog diibaratkan sebagai seorang istri atau suami dalam rumah tangga.

”Artinya, kalau tidak ada reog, maka hidup saya sepertinya ada yang kurang,” kata pria yang mengikuti program transmigrasi bedol desa tersebut.

Sarono, atau akrab disapa Mbah Rono, sudah berpindah lokasi permukiman transmigrasi sebanyak dua kali. Pertama kalinya ikut transmigrasi, Sarono tinggal di pedalaman Kabupaten Musi Rawas. Karena tidak betah dan terlalu terpencil, lima tahun silam dia memutuskan pindah ke Kabupaten Ogan Ilir.

”Di Musi Rawas, saya tidak bisa mengembangkan seni reog dengan maksimal karena berbagai keterbatasan, antara lain, susahnya mendirikan grup, mencari pemain, sampai jarak tempuh yang terlalu jauh untuk mempromosikan grup reog ini,” kata Surono yang mengaku pernah belajar nggemblak alias menjadi simpanan warok terkenal almarhum Mbah Wo Kucing dari Ponorogo.

Merintis grup

Sesudah pindah ke Ogan Ilir, Sarono bisa mendirikan sebuah grup reog beranggotakan 15 orang. Kebetulan di lokasi transmigran yang baru ini terdapat banyak keluarga yang berasal dari Kabupaten Ponorogo sehingga memudahkan proses latihan dan pemahaman praktik dasarnya.

Awalnya, grup reog yang didirikan Sarono hanya difungsikan sebagai ajang nguri-uri atau melestarikan budaya tempat asalnya. Apalagi baru-baru ini reog sempat diklaim Malaysia sebagai budaya mereka, yang tentu membuat Sarono sempat naik pitam.

”Lambat laun, grup reog ini berkembang atau menerima pesanan untuk ditanggap di lingkungan transmigrasi sekitar sini. Selain sebagai bentuk kepedulian terhadap budaya, hal ini juga merupakan ajang hiburan bagi warga transmigran setempat,” katanya. (ONI)

Source : Kompas, Senin, 7 September 2009 | 03:00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar