Kamis, 10 September 2009

Pusat Sejarah Viking Yang Melegenda

Jika Stockholm adalah kota yang selalu bergadang, Nykoping seakan selalu tidur. Tenang dan sepi. Sekitar 50.000 warga tinggal di Nykoping, dengan 32.000 di antaranya berdiam di pusat kota.

INTERNASIONAL

Bertemu "Viking" di Nykoping

Oleh : AHMAD ARIF

Setelah menyusuri Stockholm, ziarah ke tanah utara terasa tetap ada yang kurang. Viking! Sebagai bagian dari negara Skandinavia, Swedia pernah menjadi pusat sejarah Viking yang melegenda. Namun, dengan waktu yang terbatas, rasanya tak mungkin menuju Pulau Birka yang pernah menjadi pusat permukiman sekitar 1.000 keluarga Viking dan kini ditetapkan sebagai salah satu warisan pusaka dunia.

Saya pun hanya bisa membayangkan sosok Viking ketika membaca buku-buku, petunjuk perjalanan wisata, melihat gambar-gambar mereka di museum, dan mengagumi replika kuda mereka di Balaikota Stockholm. ”Jika tak punya waktu untuk melongok jejak Viking di Pulau Birka, siapa tahu Anda beruntung bertemu dengan beberapa dari mereka dengan ciri postur tinggi, ramping, dengan rambut merah keemasan, dan aksen yang khas,” tulis salah satu brosur tentang wisata Swedia.

”Coba saja menu yang ini. Salmon asap, kaviar, dan kentang panggang,” kata perempuan yang duduk di samping meja menerangkan menu yang tengah disantapnya ketika tahu kami kebingungan memilih menu. Perempuan muda itu tinggi, ramping, dan berambut blonde, mengingatkan saya pada buku petunjuk tentang Viking. Ah, mungkin saya tengah beruntung.

Namun, benarkah ada Viking perempuan?

Viking yang dalam bahasa kuno Eropa bagian utara (baca: Skandinavia) berasal dari kata vikingar adalah sebutan khusus untuk lelaki, biasanya mereka yang berlayar dari Skandinavia dalam kelompok untuk berbagai tujuan, berdagang maupun merompak di kawasan selatan dan timur Eropa hingga Amerika Utara.

”Dari definisi kaku memang tak ada Viking perempuan,” tulis Judith Jesh dalam bukunya, Women in the Viking Age, tetapi ”sebagian ’Viking’ (dan tentu saja sebagian perempuan) menetap di daerah utara dan memiliki komunitas yang menetap di Skandinavia dan Atlantik Utara.”

Sörmland

Saya juga menemukan satu buku, The Far Traveler: Voyages of a Viking Woman, ditulis Nancy Marie Brown, yang menyebutkan sosok Gudrid, satu-satunya Viking perempuan yang tercatat pernah mengikuti ekspedisi menjelajah lautan, dengan dua suami berbeda, hingga ke daratan Amerika, 500 tahun sebelum Columbus.

Baiklah, mari kita rehat sejenak kisah tentang Viking. Saya pun tergoda mencicipi menu yang disarankan perempuan muda dari Sörmland (Swedia bagian tenggara) itu, tepatnya di sebuah muara tempat pertemuan antara Sungai Nyköping dan Laut Baltik. Seporsi makanan yang harganya kebetulan sama dengan sewa kamar saya selama semalam di kota itu, 12 euro.

Nama Nyköping berarti köping (kota pasar) baru. Namun, kota ini sebenarnya sudah tua, jauh lebih tua ketika pada awal abad pertengahan menjadi ibu kota bagi sejumlah daerah bawahan Kerajaan Swedia. Nyköping telah menjadi hunian bagi manusia prasejarah, sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi, dari jejak sekitar 300 lukisan kuno di atas batu di kawasan ini.

Pada abad ke-13, pembangunan Benteng Nyköping dimulai dan pada abad berikutnya menjadi benteng terkuat di negeri itu. Namun, ketenaran Benteng Nyköping adalah karena kisah perjamuan Natal pada tahun 1317, episode populer dalam sejarah Swedia, ketika Raja Birger menangkap dua saudaranya dan memerintahkan agar mereka dipenjara tanpa diberi makan hingga mati kelaparan.

Hingga saat ini, sejarah itu tetap dihidupkan dalam bentuk pertunjukan teater komedi yang digelar di atas reruntuhan benteng pada setiap musim panas.

Pada abad ke-16 Nyköping menjadi tempat kedudukan Adipati Karl yang kemudian menjadi Raja Karl IX dari Swedia. Dengan status kediaman kerajaan, Nyköping mencapai puncak perkembangannya.

Pada tahun 1665 sebagian besar kota ini, termasuk bentengnya, hancur terbakar. Hal yang sama terjadi lagi sekitar 50 tahun kemudian saat pasukan Rusia menyerang kota ini.

Sepi dan dingin

Nyköping tak pernah lagi seramai dulu meskipun dibangun kembali setelah kehancuran itu. Jika Stockholm adalah kota yang selalu bergadang, Nyköping seakan selalu tidur. Tenang dan sepi. Sekitar 50.000 penduduk tinggal di kawasan ini, dengan 32.000 di antaranya berdiam di pusat kota. Namun, Nyköping pada hari Minggu siang itu terasa sepi.

Sepi, udara yang bersih dan segar, serta diapit hutan dan laut, Nyköping kini menjadi tujuan wisata populer di Swedia untuk kegiatan luar ruangan, seperti memancing, kayak, berlayar, tracking, dan berkemah.

Meskipun tengah di puncak musim panas, tepian pantai di Nyköping tetaplah dingin dengan suhu 14 derajat celsius dan berangin sangat kencang. Ratusan perahu dijajar di tepi pantai, puluhan orang memancing di dermaga kayu yang dibangun memanjang membelah perairan.

Menikmati angin di tepi pantai Nyköping, menyelusup ke lorong-lorong kota dan reruntuhan istana, di antara bangunan tua yang sepi tetapi asri, dimanja oleh arsitektur abad pertengahan yang dibangun lagi setelah kebakaran hebat melanda kota ini, saya berada di pengujung senja. Saat untuk kembali ke Bandara Skavasta.

Saya pun duduk di bus jurusan Skavasta. Hanya ada lima penumpang. ”Wah, bus ini khusus mengantarkan kita,” kata saya mengomentari penumpang yang cuma segelintir itu dibandingkan dengan ukuran bus yang jumbo, jauh lebih besar daripada bus transjakarta. Sang sopir, seorang imigran kulit hitam, terlihat gelisah, namun tetap menggerakkan busnya ketika saatnya tiba. Bus berjalan 100 meter, tetapi tiba-tiba berhenti.

Sang sopir mengabarkan kepada penumpang bahwa busnya tak bisa mengantar ke Skavasta, tanpa alasan jelas. Dia kemudian sibuk mengembalikan uang calon penumpang, memutar arah bus dan kabur. ”Wah, seperti di China saja. Penumpang diturunkan di tengah jalan. Kami menyebutnya angkutan jual babi karena memperlakukan penumpang seperti babi,” kata A Wing, pelancong asal Shanghai, China.

Saya tergelak karena teringat dengan kondisi yang sama dengan angkot-angkot di Jakarta, tetapi sedikit cemas karena takut ketinggalan pesawat ke Berlin. Beruntung tak sampai setengah jam, bus yang lain datang. Penumpang tak bertambah juga, tetap lima orang. ”Kali ini kamu jangan berkomentar hanya ’kita’ di bus,” A Wing mengingatkan. Saya pun diam hingga bus tiba di bandara, 20 menit kemudian.

Malam mulai menjelang. Sebentar lagi pesawat kembali terbang ke Berlin, Jerman. Tetap juga ada yang terasa kurang. Tanah Skandinavia itu telah memberi saya candu. Membuat ketagihan untuk kembali.

Source : Kompas, Kamis, 10 September 2009 | 05:22 WIB

Foto-Foto : KOMPAS / AHMAD ARIF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar