Sapto Membawa "Ideologi Kenormalan"
Oleh : SONYA HELLEN SINOMBOR
Isu difabel bukanlah monopoli difabel, tetapi merupakan isu manusia. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada jarak antara komunitas difabel dan nondifabel, yang akhirnya memunculkan ”ketakutan” masing-masing untuk berinteraksi satu sama lain.
Paradigma inilah yang coba dibangun Sapto Nugroho (45). Direktur Yayasan Talenta Surakarta ini merupakan salah satu di antara sekian difabel yang mengabdikan dirinya untuk komunitas difabel.
Sejak mendirikan Yayasan Talenta, 10 tahun yang lalu, ia aktif melakukan pemberdayaan terhadap individu dan organisasi difabel, menyosialisasikan dan membangun paradigma baru penanganan masalah kecacatan, serta mendorong kebijakan yang berperspektif kecacatan.
Bagi Sapto, kurang terjadinya interaksi yang wajar antara komunitas difabel dan nondifabel merupakan masalah yang serius. Akibat situasi ini, tidak tersedia ruang dan waktu yang cukup bagi komunitas difabel dan nondifabel untuk saling berkomunikasi, belajar, mengerti, dan memahami, hingga akhirnya memunculkan rasa solidaritas.
”Interaksi yang wajar kurang terjadi karena masing-masing pihak terhegemoni oleh sebuah ideologi kenormalan, yang mendefinisikan tentang siapa yang disebut normal,” ujarnya.
Bahwa yang disebut normal adalah orang yang memiliki organ lengkap dan berfungsi, dan jika seorang memiliki organ lengkap tetapi ada satu atau dua organ yang tidak berfungsi, orang lain akan menyebutnya sebagai seorang yang tidak normal. Istilah normatifnya cacat.
Meskipun ideologi ini tak ada dalam kurikulum sekolah- sekolah, dampaknya sangat kuat memengaruhi cara berpikir semua orang. ”Masing-masing mempunyai ketakutan, yang sebenarnya hanya asumsi, ketika ingin memulai interaksi,” paparnya.
Realitanya, masyarakat nondifabel beranggapan difabel adalah sosok yang gampang tersinggung, bertemperamen tinggi, dan tidak mudah berkomunikasi. Sebaliknya, difabel mempunyai rasa takut jangan-jangan dia tidak diterima secara wajar ketika ingin bergaul.
Kondisi inilah yang mendorong Sapto mendirikan Yayasan Talenta. Awalnya, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, ini terjun menjadi aktivis di sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sosial dan ekonomi di Solo. Bermodalkan tekad dan tabungan seadanya, tahun 1999 dia mendirikan Yayasan Talenta.
”Saya pilih nama Talenta karena talenta adalah titipan anugerah dari Tuhan. Talenta teman-teman difabel tidak bisa maksimal, kami ingin keluar melampaui batas. Makanya, slogan Yayasan Talenta ”We Fight for Human Liberation,” ujarnya.
Bagi Sapto, selain sarat diskriminasi, paradigma penanganan kecacatan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hingga kini, sosok difabel masih dipandang sebagai individu yang lemah, tergantung, tidak produktif, perlu santunan/bantuan, dan berakibat memunculkan rasa belas kasihan. Saat ini hanya ada sekitar 40 panti yang menangani difabel, sementara jumlah difabel diperkirakan sekitar 6,2 juta dan bakal terus bertambah.
Paradigma kecacatan
Selain menyosialisasikan terminologi baru mengenai kecacatan, Yayasan Talenta aktif melakukan advokasi dan pemberdayaan difabel, kampanye problem-problem difabel, serta membangun kemitraan dengan pemangku kebijakan.
Pada tahun 2004, ketika Pemerintah Kota Solo memberikan asuransi kesehatan (askes) buat warga miskin Solo, Yayasan Talenta menuntut agar difabel juga mendapat askes, sehingga akhirnya 34 difabel mendapat askes. Pada tahun 2005 jumlah difabel pengguna askes meningkat menjadi 140 orang dan berlanjut hingga saat ini.
Sapto juga tidak pernah berhenti mengingatkan pemerintah dan pemangku kepentingan di Kota Solo bahwa Solo merupakan kota lahirnya upaya rehabilitasi. Oleh karena itu, penanganan difabel harus mendapat perhatian.
Perjuangan mendobrak paradigma kecacatan dilakukan Yayasan Talenta dan LSM Interaksi, yang melalui Konsorsium Lembaga Kecacatan Surakarta mengajukan Naratif Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kesetaraan Hak-hak Dasar Difabel di Kota Solo.
Perjuangan ini tidak sia-sia. Akhir 2008, DPRD Kota Solo menetapkan Perda tentang Kesetaraan Difabel yang mengatur hak dan kewajiban difabel Solo.
Perjalanan Sapto mengadvokasi komunitas difabel tidak selalu mulus. Selain sulit menggalang dana untuk kegiatan komunitas difabel, penolakan atas kehadiran dirinya di sejumlah tempat sering dialaminya. Sosok Sapto yang telah menggunakan kruk (penyangga tangan) sejak usia 5 tahun sering ditolak dan diperlakukan seperti difabel umumnya yang perlu dikasihani.
Ketika akan menyosialisasikan kegiatan difabel di Dinas Sosial Pemkot Solo, ia malah dikira ingin meminta bantuan. Begitu juga ketika mendatangi sebuah hotel berbintang di Solo, Sapto malah dihadang petugas keamanan hotel. Adapun saat menjadi fasilitator sebuah workshop di Flores Timur, dia sempat dikira seorang tukang kayu.
Tentang kecacatannya, Sapto yang sering disapa dengan panggilan Om berujar, ”Menurut keluarga, sewaktu berumur tujuh hari, saya mengalami panas tinggi dan diperiksakan ke dokter. Untuk mengatasi panas, saya disuntik. Ternyata suntikan itu berdampak bagi perkembangan tubuh saya. Ketika saatnya berjalan seperti anak-anak lain, saya enggak bisa jalan. Kaki cenderung mengecil, sehingga pada usia lima tahun mulai dilatih ayah saya menggunakan kruk, sampai sekarang.”
Bias difabel
Sapto menilai, program-program pemerintah hingga kini belum banyak yang menyentuh kaum difabel. Dalam konteks pemenuhan HAM, secara kuantitatif dan kualitatif, pemerintah sudah memberikan perhatian terhadap masalah difabel, tetapi diskriminasi terhadap difabel masih terjadi.
Perencanaan pembangunan pun masih banyak yang bias difabel (tidak mengakomodasi kebutuhan difabel). Misalnya, penanganan bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten yang mengakibatkan munculnya difabel-difabel baru.
”Bukankah kita tidak pernah mendapatkan informasi resmi tentang jumlah ’difabel baru’ akibat bencana tersebut. Banyak yang tidak terakomodasi dalam perencanaan pemulihan,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Sapto, difabel diklasifikasi menjadi dua kelompok, yakni difabel yang mampu didik (kemampuan intelektual masih bisa dikembangkan) dan mampu latih (kemampuan intelektual tidak bisa dikembangkan), dan difabel mampu rawat (always patient). ”Kedua kelompok ini harus dipilah, tidak semua harus masuk panti,” paparnya.
Source : Kompas, Jumat, 25 September 2009 | 02:44 WIB
Foto : KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar