Kamis, 19 November 2009

Ekspedisi di Pantai Tanaberu, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan

Kapal pinisi yang siap dikirim ke Singapura buatan perajin di Tanaberu, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (16/11). Bulukumba adalah salah satu sentra pembuatan kapal pinisi yang terkenal di seluruh dunia. Beberapa negara di Eropa, Amerika, hingga Afrika juga memesan perahu di Bulukumba. (Foto : Lucky Pransiska)***

EKSPEDISI PULAU TERDEPAN

Dari Tanaberu hingga ke Ujung Dunia

Oleh : Iwan Santosa

dan Lucky Pransiska

Dentaman palu, hantaman kapak, dan suara pasak menancap di kayu besi terdengar di sepanjang Pantai Tanaberu, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (16/11) pagi. Deretan kapal pinisi dan kapal kayu setengah jadi terhampar di batilang, galangan tradisional beratap rumbia.

Kami membuat kapal sendiri, lalu dijual atau berdasarkan pesanan. Kapal buatan Tanaberu dipakai berlayar melintasi Samudra Pasifik sampai ke Vancouver, Kanada, perairan Atlantik di Eropa,” kata Bachri (35), putra Tanaberu.

Saat ditemui, Bachri sedang mengerjakan pinisi berukuran lebih dari 100 ton. Kapal sudah setahun lebih dikerjakan di batilang milik ayahnya, Jafar (73).

Jafar adalah empu pembuat kapal di Tanaberu yang pernah membuat Pinisi Nusantara. Ia adalah satu dari beberapa pandita lopi, sebutan untuk ahli pembuat kapal dalam bahasa setempat.

Pandita lopi adalah tokoh adat yang memberi berkah dan memimpin upacara tradisional untuk setiap kapal yang dibuat di Tanaberu. Sesaji emas murni dan beberapa benda keramat ditanam di lunas kapal sebagai perlambang perkawinan kayu jantan dan betina yang dijadikan lunas kapal. Itu diyakini membuat kapal berhasil dalam pelayaran.

Kebijakan lokal seperti larangan menyambung kapal di mata kayu membuat kapal-kapal buatan Tanaberu dikenal kuat dan kokoh.

Penjelasan ilmiahnya, ujar Ridwan Alimuddin, aktivis Lembaga Perahu, mata kayu adalah bagian yang rapuh untuk dijadikan sambungan kapal.

”Ada banyak pemali dalam pembuatan kapal tradisional di Tanaberu. Pemali yang ada sebetulnya bisa dijelaskan secara ilmiah, seperti pantangan membuat sambungan pada bagian batang yang memiliki mata,” kata Ridwan, yang beberapa kali berlayar bersama orang asing di atas kapal buatan Tanaberu.

Nilai tradisional pembuatan kapal di Tanaberu setidaknya membuat warga setempat mendapat pesanan tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga mancanegara.

Satu pinisi warna coklat tua, misalnya, Senin, sudah diluncurkan dari galangan kering (dry dock) dan dikandaskan di laut dangkal. ”Itu kapal pesanan orang Singapura, untuk wisata sekitar Singapura-Malaysia. Ada 12 kamar untuk penumpang. Banyak kapal buatan Tanaberu dipesan orang asing,” kata Rian (22), putra Tanaberu yang kuliah pelayaran di Makassar.

Rian bertekad pulang kampung seusai kuliah untuk melanjutkan bisnis kapal tradisional.

Siang itu, Rian sedang menjumpai belasan warga yang memperbaiki kapal pinisi bernama Sampai Jumpa. Kapal berukuran 70 ton itu milik seorang pria Belanda yang tinggal di Thailand. Sampai Jumpa digunakan untuk berlayar di perairan Teluk Thailand.

Tanpa sketsa, apalagi desain komputer, pria-pria Tanaberu tekun membangun kapal kayu berkualitas dunia. ”Beberapa tahun lalu orang Australia juga pesan kapal di sini untuk berlayar dari Sulawesi Selatan ke Marega (istilah Bugis/Makassar untuk Tanah Australia). Kapal itu selanjutnya disimpan di museum di Australia,” ujar Bachri.

Replika kapal dari relief Candi Borobudur turut dibuat di Tanaberu. Kapal yang berlayar hingga Ghana di pantai barat Afrika itu mengukuhkan tradisi bahariwan Nusantara. Satu pinisi buatan Tanaberu yang akan dibawa ke Eropa juga sedang ditambatkan di Tanjung Bira.

Kapal-kapal Tanaberu dibuat menggunakan campuran kayu biti dan kayu besi (sejenis ulin) yang didatangkan dari Sulawesi Tenggara atau Kalimantan. Kulit kayu asal Kalimantan digunakan sebagai pelapis sambungan kayu untuk mencegah kebocoran.

Harga kapal kayu buatan Tanaberu bervariasi. Kapal berukuran 40 ton, misalnya, sekitar Rp 150 juta, seperti yang sedang dikerjakan Safrudin (35), tak jauh dari batilang milik Bachri. Sementara kapal berukuran di atas 100 ton sekitar Rp 4 miliar.

Kapal buatan Tanaberu dirancang sesuai pesanan, seperti dari nelayan Flores, Nusa Tenggara Timur. Kapal itu dilengkapi dengan tempat duduk tambahan di anjungan untuk memancing ikan laut dalam.

Namun, perajin saat ini sulit mendapatkan baku kayu. ”Alasannya, pemerintah memberantas illegal logging (penebangan liar),” kata Bachri.

Sri, pedagang bakso asal Karanganyar, Solo, Jawa Tengah, membenarkan ucapan Bachri. ”Kalau usaha kapal lagi ramai, warung bakso tidak bakal sepi,” katanya.

Persinggahan pertama

Desa Tanaberu adalah persinggahan pertama Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara ke arah timur kepulauan Indonesia. Tim berangkat dari Pantai Losari di Makassar, 15 November lalu sekitar pukul 12.00, dilepas Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Sekitar pukul 19.00, kapal yang dinakhodai Hidayat (63), putra Tanjung Bira, melintasi pesisir Takalar, membelok ke arah Tanaberu, sebelum mencapai ujung timur daratan Sulawesi Selatan di Tanjung Bira.

Perjalanan dilanjutkan Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara, Senin malam, menuju selatan Pulau Selayar. Diperkirakan tim tiba hari Selasa pagi ini di Pulau Selayar.***

Source : Kompas, Selasa, 17 November 2009 | 02:58 WIB

2 komentar:

  1. salut-salut..... maju terus pinisi... jelajahi dunia dengan keperkasaanmu.....

    BalasHapus
  2. saya salut dan bangga akan kegigihan putra Sulawesi Selatan, terus maju dan pertahankan kekayaan budaya kita.. jelajahi seluruh dunia... kibarkan bendera Indonesia...

    BalasHapus