30 Tahun Hidup di Tanah Perjanjian Bumi Wiralodra
INDRAMAYU – Mencari jalan hidup yang tenang dan nyaman, ternyata tidak mudah. Begitu berat dan sarat tantangan. Jakarta yang semula menjadi daerah tujuan hidup, ternyata harus diputuskan segera sebelum semuanya terlambat dan ujur dalam hidup ketidakpastian di ibukota Jakarta, yang sering dijuluki “Kejamnya Ibu Tiri tak Sekejam Ibukota”.
Kalau saja Ibukota Jakarta lebih nyaman dan menjadi lahan hidup yang lebih menjanjikan, seseorang mungkin saja akan memutuskan lebih baik mempertahankan hidup di Jakarta daripada harus pulang kampung tanpa hasil apa-apa. Fenomena tersebut ternyata dialami Resman S. yang pernah bertarung hidup di ibukota Jakarta.
Resman mengaku betapa pahit dan getirnya melakoni hidup di Jakarta, sebuah daerah baru sebagai tujuan perantauannya. Berangkat dari daerah kelahirannya, Batak, lalu hijrah mencari nafkah di pusat pemerintahan Republik Indonesia. Demi sesuap nasi, apa pun ia lakukan. “Yang penting tidak kelaparan. Sampai akhirnya saya harus menjadi sopir taksi dengan beban hidup yang tak ringan,” kata Resman.
Menjadi sopir taksi rupanya tidak nyaman. Setiap hari ia merasa seperti orang yang punya utang, selalu dikejar-kejar setoran oleh bosnya. “Setiap hari kepala pusing...,” ujarnya.
Singkat cerita, Resman mencari jalan hidup yang dengan merantau ke Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Meski singgah di daerah yang masih asing baginya, namun ia mengaku beruntung masih memiliki kelebihan lain, yakni “nekad” untuk menjadi wartawan sambil menjalin relasi dengan rekan-rekannya yang dulu sekampung. Jaringan beberapa koresponden Jakarta dan Bandung hingga Medan ia jalin, sehingga berhasil mengembangkan karirnya sebagai wartawan hingga kini. Meski akhirnya Resman masuk dalam deretan wartawan tertua di Indramayu pada saat ini. Lalu beberapa rekan seprofesinya menjuluki Resman tergolong wartawan senior di Bumi Wiralodra Indramayu.
Kini, tak terasa lagi Resman mengaku telah 30 tahun hidup di atas tanah perjanjian Bumi Wiralodra Indramayu. “Saya lahir 23 April 1956. Sekarang usiaku sekitar 53 tahun dan sudah diberkahi tiga orang anak. Saya sudah merasa betah hidup sekian lama di Indramayu dan menjadi warga Bumi Wiralodra. Jika kembali ke Batak atau Medan sana, belum tentu saya diterima oleh orang-orang sana. Budaya dan bahasa pantai Indramayu telah menyatu denganku,” kata wartawan yang “kenyang” makan asam garam memegang sejumlah media masa cetak terbitan ibukota itu.
Kini, buah perkawinan Resman dengan Tati Raharti, seorang guru Sekolah Dasar (SD) telah memiliki tiga buah hatinya yang telah besar-besar. Menjadi wartawan ia berhasil menguliahkan anak pertamanya, Diana Susanti di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan kini telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi guru di Indramayu.
Sedangkan anak keduanya, Boby Rahmat tengah menimba ilmu di Universitas Wiralodra Indramayu, dan anak ketiganya Dini Maulina masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Negeri Indramayu.
“Yang saya idam-idamkam hidup di tanah perjanjian Bumi Wiralodra ini, minta diterima sebagai warga Indramayu asli. Meski saya dilahirkan di Batak kata orang Indramayu, apa mungkin Otonomi Daerah ini warga Indramayu mengakui saya sebagai wong Dermayu ?,” ungkapnya. ( Satim ) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar