Senin, 11 Mei 2009

Mari Pertahankan Kota Tua Bersejarah


Kota Toea

Cultural Tourism
Oleh : Pradaningrum Mijarto

Wisata budaya (cultural tourism) kini semakin mendapat tempat di hati wisatawan. Budaya selalu menjadi obyek wisata utama di seantero dunia. Namun sekitar tiga dasawarsa lalu, tren wisata budaya mulai terpecah, wisatawan mulai tertarik juga pada hasil peninggalan masa lampau yang menempel pada dinding-dinding bangunan di kota bersejarah, kota tua pada setiap negara yang mereka kunjungi. Tren wisata itu diberi nama heritage tourism atau cultural heritage tourism.

Heritage, atau warisan berupa berbagai peninggalan dalam segala bentuk, penting bukan hanya sebagai sebuah identitas kota dan negara tapi juga bernilai ekonomi serta memberi dampak sosial. Budaya merekatkan manusia untuk mencipta saling pengertian yang membawa pada kedamaian dan keharmonisan. Wisata heritage pada akhirnya juga membantu memelihara dan melestarikan heritage/warisan itu sendiri.

Di dalam setiap kota tua masih lekat menempel sejarah sang kota, perjalanan hidup kota berabad lalu masih bisa terbaca hingga detik ini melalui bangunan tua, jalur kereta api, jembatan, kanal, kuliner, folklore, tradisi dan segala yang masih terus dilestarikan.

Kerutan di wajah sebuah kota tua, yang terpelihara apik, menjadi begitu menarik dan merangsang wisatawan untuk datang, tak sekadar menjenguk, mengenang, tapi juga mencoba memahami mengapa sebuah peristiwa terjadi pada satu kurun waktu. Kemudian, bisa kekaguman yang muncul atau dalam kisah tertentu, berharap kejadian buruk di masa lalu tak terulang kembali.

Warisan yang ada di setiap kota di dunia memiliki arti penting yang berbeda bagi penduduk kota itu sendiri, penduduk di negara di mana sebuah kota berada, atau bahkan bagi dunia.

Arti sebuah warisan bisa positif atau negatif. Warisan masa lalu, tak selalu berupa kejayaan yang membanggakan bagi generasi di masa kini namun seringkali juga mendatangkan rasa malu, kebencian, seperti pada masa kelam Jerman dan Eropa pada umumnya ketika Hitler berlagak menjadi Tuhan dan membantai orang Yahudi. Begitu banyak warga Jerman ingin melupakan warisan yang ditinggalkan Hitler. Tapi bagaimanapun, orang tak bisa melupakan sejarah mereka, baik yang membanggakan maupun yang memilukan.

Auschwitz atau Oswiescim yang masuk dalam World Heritage Sites UNESCO adalah salah satu peninggalan yang dilestarikan. Warga dunia ternyata lebih banyak yang memilih untuk tidak melupakan sejarah terkelam manusia di abad 20 melalui kamp pembantaian Yahudi di Polandia ini. Melalui Auschwitz, dunia diingatkan agar lakon ini tak pernah lagi dipentaskan pada panggung dunia manapun.

Berlin masih menyimpan reruntuhan tembok, perlambang runtuhnya komunisme, yang dihancurkan pada 1989. Gerbang Brandenburg menanti wisatawan yang ingin menatap pintu gerbang pertanda damai dari Raja Frederik William II dari Prussia dan dibangun oleh Carl Langhans yang kini jadi landmark Berlin - bahkan Eropa. di Koln berdiri tegak Katedral Koln atau Kõlner Dom sebagai tengara kota yang dibangun di sekitar abad 12.

Kota tertua di Belanda, Maastricht, yang sudah ada sejak zaman Romawi dan sempat hanya menjadi kota kecil di ujung Selatan Belanda, kini bersinar sebagai kota budaya dengan peninggalan dari abad 12 yang masih bisa dilihat, tembok kota, gerbang kota, dan benteng.

Sebagai kota benteng, Maastricht mempertahankan warisan itu hingga kini. Sejak 1992, di mana Maastricht menjadi kota kelahiran Uni Eropa lewat Perjanjian Maastricht (The Treaty of Maastricht), kota ini makin berkilap sebagai kota tujuan turis mancanegara. Pemerintah setempat sadar betul, koceknya makin gemuk dengan kedatangan turis. Goa, St Pietersberg Cave, yang sudah ada sejak sebelum Masehi pun masih terawat lengkap dengan peninggalan sketsa dan lukisan di dinding. Di masa Hitler, goa ini menjadi tempat persembunyian.

Intinya, mereka melek heritage. Warisan berabad silam dilestarikan bukan hanya demi memenuhi rasa penasaran para turis tapi juga demi pengembangan heritage itu sendiri.

Di beberapa negara seperti Inggris, Skotlandia, Australia, dan Amerika Serikat, tur hantu pun digelar. Biasanya mereka menyasar bangunan tua.

Dari Asia, Korea Selatan penuh dengan kuil yang dibangun bahkan sejak sebelum Masehi. Kota bersejarah Gyeongju, Kuil Bulguksa, dan pertapaan Seokguram Grotto semua masuk dalam daftar World Heritage Sites UNESCO. Kawasan Gyeongju sudah ada sejak tahun 57 sebelum Masehi. Gyeongju adalah bekas ibukota Kerajaan Silla yang sudah berkembang sejak awal milenium. Tak pelak, peninggalan arkeologi di kawasan ini mengambil lahan yang cukup luas, sekitar 1.300 km2. Sedangkan Kuil Bulguksa, kuil penganut Buddha, dibangun juga pada masa Kerajaan Silla pada sekitar tahun 580-an. Seokguram Grotto adalah salah satu bagian dari kompleks Kuil Bulguksa yang mulai didirikan pada tahun 742.

Bicara soal Korea Selatan, sekitar dua pekan lalu seorang rekan lama dari Seoul melempar surat elektronik ke Warta Kota. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, lantas mulailah diskusi tentang wisata heritage. Kemudian dia menulis, "Pemerintah Seoul sedang membangun kafe di jembatan Sungai Han. Bayangkan, secangkir kopi sambil memandang Sungai Han dan air mancur menari. Kalau malam, waaaaah... romantis. Dan ini dibikin untuk menarik turis."

Menarik turis berarti menyedot uang dari kocek para turis agar masuk ke Seoul. Sebuah upaya dan kemauan luar biasa dari pemerintah Seoul untuk mewujudkan janji mereka pada dunia, menampilakan Seoul sebagai Soul of Asia.

Bergerak ke negara tetangga Indonesia, Malaysia, ada Malaka yang tahun lalu masuk dalam daftar World Heritage Sites. Intinya, semua berlomba memelihara dan melestarikan warisan terpenting mereka sekaligus mengelolanya dengan baik.

Pada akhirnya memang, nilai ekonomi heritage begitu terasa langsung bagi kota dan penduduknya. Kafe, restoran, hotel, toko suvenir, pedagang tradisional semua terkena dampak berputarnya uang. Selain itu, keberlangsungan sebuah kota -lengkap dengan peninggalan sejarah dan budaya- terjaga bagi generasi selanjutnya.

Lantas, apa kabar Jakarta? Di usia yang menjelang 500 tahun, dalam rentang waktu yang kurang dari 20 tahun ke depan, Jakarta masih saja berantakan. Sudahkah Jakarta menciptakan citranya sebagaimana kota-kota lain di dekatnya?

Kawasan bersejarah Jakarta yang sedang dalam proses dihidupkan kembali kini terkesan dhedhel dhuwel. Mandek bukan hanya karena masalah pembangunan fisik, dan pembenahan ulang -karena dalam waktu dua tahun sudah babak belur lagi sehingga harus tambal sulam- tapi juga karena tak jelas arah revitalisasi itu. Terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak cakap, minim tindakan.

Padahal, potensi kawasan bersejarah/kota tua Jakarta tak terkatakan. Tengok saja sejarah kota ini. Bermula dari Sunda Kelapa di seputar abad 12 kemudian berganti nama menjadi Jayakarta pada 1527, berubah lagi menjadi Batavia pada 1619 di masa VOC, dan terakhir Jakarta pada 1942.

Sejarah panjang itu bermula di kawasan yang kini disebut kawasan lama atau kawasan bersejarah atau kota tua. Seluruh kawasan tempat di mana Batavia berawal ini ditetapkan sebagai situs dan dilindungi oleh SK Gubernur DKI Jakarta No 475/1993 mengenai bangunan cagar budaya di DKI Jakarta yang harus dilestarikan.

Menurut Candrian Attahiyat, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, sesuai Peraturan Gubernur No 34 Tahun 2006 tentang penguasaan, perencanaan, penataan kota tua, luas kawasan bersejarah atau kota tua Jakarta adalah 846 hektar. Batas sebelah Selatan adalah Gedung Arsip, batas Utara adalah Kampung Luar Batang, batas Timur Kampung Bandan, dan batas Barat di Jembatan Lima.

Di kawasan itu saja ada lebih dari 200 bangunan tua yang dimiliki BUMN, DKI Jakarta, swasta, dan perseorangan. Kondisinya? Lebih banyak yang menunggu ajal.

Selain empat museum milik DKI Jakarta, Museum Sejarah Jakarta yang menempati bekas gedung balai kota di masa Batavia; Museum Wayang; Museum Seni Rupa dan Keramik; dan Museum Bahari, kawasan ini juga memiliki dua museum perbankan, Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia.

Di seputaran bekas pusat Batavia, ada bangunan Stasiun Jakarta Kota atau Beos yang pembangunannya kelar pada 1929. Menyusur kanal membayangkan awal abad 19 di mana kawasan Kali Besar tenar sebagai pusat bisnis, bisa jadi alternatif lain. Bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan kanal menjadi saksi sebagain sejarah Jakarta.

Lebih ke Utara, ada sisa tembok Batavia, ada pula kampung yang seharusnya tetap lestari sebagai Kampung Tugu. Kampung ini masuk sebagai kawasan yang dilestarikan dalam SK Gubernur DKI No 475/1993. Disebut demikian karena, menurut Adolf Heuken, penulis sejarah Jakarta, di kawasan ini ditemukan Prasasti Tugu - peninggalan arkeologis tertua yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat.

Di kampung ini pula para mardijkers - tahanan yang sudah dibebaskan, dimerdekakan oleh Belanda - tinggal. Mereka kebanyakan keturunan Portugis.

Gereja Tugu yang pertama kali dibangun pada 1670-an, masih berdiri di sana. Kampung ini juga menyimpan warisan kuliner seperti dendeng tugu dan pindang srani tugu yang semua sudah punah bersama punahnya Kampung Tugu. Kampung yang harusnya lestari seperti apa adanya, kini hanya menyisakan keroncong tugu. Selebihnya, kini kawasan itu jadi tempat antrean truk konteiner.

Untuk menyasar wisata kuliner, kota tua masih memiliki kawasan yang paling beken. Kawasan itu tak lain adalah Pancoran, Glodok. Ingin ke pulau, bergeser sedikit ke Teluk Jakarta ada Kepulauan Seribu dengan Taman Arkeologi Pulau Onrust - pulau yang sibuk/tak pernah istirahat - yang terdiri atas Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari.

Tentu saja Indonesia tak hanya punya Jakarta. Kota-kota lain di Pulau Jawa seperti Banten, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Semarang hingga kota-kota di luar Pulau Jawa menyimpan warisan tersendiri.

Yang perlu diingat bahwa bahkan dari segelas bir, secangkit kopi atau teh, sepotong es krim, semangkuk soto, atau patahan tembok tua, kita bisa kembali ke ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Preserving our past, building our future... Mulailah detik ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar