Kamis, 14 Mei 2009

Pidato Menteri Freddy Numberi pada Pembukaan Konferensi Kelautan Dunia 2009 di Manado



KELAUTAN

Dunia Diajak Berpaling ke Laut

MANADO – Indonesia menekankan pentingnya negara-negara di dunia bersatu mengarusutamakan isu kelautan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Komitemen bersama itu antara lain perlu didukung kerja sama penelitian.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengutarakan seruan itu dalam pembukaan Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manando, Senin (11/5).

Sejak kemarin semua kegiatan di WOC dimulai. Selain sidang pejabat (SOM), juga dimulai pameran ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri kelautan.

Pembukaan pada hari pertama diwarnai dengan penangkapan aktivis lembaga swadaya mansyarakat dari Aliansi Manado.

Malam harinya, sebanyak 15 aktivis masyarakat sipil dari Filipina, peserta Forum Internasional Kelautan dan Keadilan Perikanan (FIKKP) yang digagas Aliansi Manado, dikarantina di Kantor Imigrasi Manado. Mereka ada di antara massa yang dibubarkan polisi sore harinya.

Ke-15 orang itu dikarantina dengan alasan persoalan kelengkapan imigrasi. “Ada indikasi pelanggaran keimigrasian,” kata Kepala Imigrasi Manado Jumanter Lubis di Manado, Senin malam.

Ia belum merinci kapan ke-15 warga negara Filipina itu akan dideportasi. Hanya dikatakan masih dalam pemeriksaan. Selain itu juga ada 4 orang Kamboja dan 2 orang Malaysia yang diperlakukan sama.

Kerja sama banyak bidang

Dalam pidatonya, Freddy menegaskan, kerja sama negara maju dan berkembang dibutuhkan tidak hanya dalam hal keuangan, pangan, energi, dan krisis air bersih, tetapi juga antisipasi perubahan iklim.

“Kita (negara-negara) harus bekerja sama menciptakan pemahaman lebih baik mengenai keterkaitan erat antara laut dan perubahan iklim maupun dampak perubahan iklim terhadap ekosistem, keragaman hayati laut, dan masyarakat pesisir, khususnya pulau-pulau kecil,” ujar Freddy.

Komitmen kerja sama itu antara lain diwujudkan dengan pengurangan emisi karbon dan mendukung konservasi di kawasan perairan penting, seperti segitiga terumbu karang, Kawasan Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (CTI) mencakup enam wilayah di Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, dam Kepulauan Solomon.

“Tidak mungkin negara jalan sendiri-sendiri. Setiap negara memiliki rencana aksi nasional yang bisa dijalankan secara bersama-sama,” ujarnya seusai pembukaan WOC.

Freddy menambahkan, sebagian negara masih alergi dengan mitigasi karena terkait dengan pengurangan emisi karbon. Padahal, perubahan iklim yang sebagian besar dipicu oleh emisi karbon sangat berdampak pada engara-negara kecil dan kepulauan.

WOC akan merumuskan kesepakatan yang tertuang dalam Deklarasi Kelautan Manado (MOD). Selanjutnya, hal itu akan dibahas dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Belum tersentuh

Penasihat Delegasi Indonesia untuk WOC yang juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, WOC merupakan langkah awal pengarusutamaan peran laut dalam upaya stabilisasi iklim global. Selama ini laut nyaris tak tersentuh dalam kebijakan nasional.

“WOC adalah langkah pertama ke arah kebijakan stabilisasi iklim global yang lebih komprehensif. Upaya mengangkat isu kelautan adalah jalan panjang,” ujarnya.

Sebagai wujud komitmen, ujar Sarwono, Indonesia harus memiliki kebijakan nasional kelautan yang menonjol. Kebijakan kelautan dan konservasi juga harus mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat pesisir.

Semakin tersisih

Di tengah pertemuan yang dihadiri 83 delegasi dari 72 negara dan 11 lembaga internasional, kritik muncul dari kalangan masyarakat sipil. Mereka menilai pertemuan tersebut tidak menyentuh subtansi persoalan kelautan yang selama ini dihadapi.

Sebaliknya, justru terjadi kompromi terhadap negara-negara maju yang selama ini mengambil keuntungan atas kekayaan laut Indonesia dan negara kepulauan lain. ”Ada persoalan lebih penting yang dilupakan,” kata anggota Aliansi Manado, Rignolda Djamaludin.

Masyarakat pesisir semakin tersisih dari wilayah kelolanya. Untuk mengubahnya, harus ada pelibatan secara langsung masyarakat pesisir dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat harus berdaulat.

Dideportasi

Sementara itu, salah satu dari 15 orang yang akan dideportasi, Dina (warga negara Filipina), yang dihubungi kemarin malam berujar, mereka akan dibawa ke bandara pada Selasa pukul 07.00 Wita.

“Kami harus menginap di kantor imigrasi. Permintaan kami kembali ke hotel ditolak,” katanya.

Menurut Dina, ia bersama teman-temannya menolak dipindahkan ke kantor polisi untuk dipotret dan diambil sidik harinya. “Kami tidak melakukan kekerasan, untuk apa ?,” ujarnya.

Selain itu, FIKKP juga diikuti peserta dari Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Kamboja. Hingga kini belum ada kepastian apakah mereka juga akan dideportasi.

“Yang jelas, kami menyesalkan kejadian ini dan sudah menyebarluaskannya secara virtual,” kata Riza Damanik, anggota Aliansi Manado.

Peristiwa itu, lanjutnya, memperkuat sinyalemen bahwa suara masyarakat sipil akan selalu dibungkam. (GSA/LKT/ICH/ZAL). ***

Sumber : Kompas, Selasa, 12 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar